MAKALAH
PERSPEKTIF RELIGI TENTANG HAKIKAT PENDIDIKAN
Diajukan
untuk Memenuhi Tugas Landasan Pedagogi
M FURQON
NOVIANA PUTRI
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN FISIKA
SPS
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
OKTOBER,
2017
KATA
PENGANTAR DAN UCAPAN TERIMAKASIH
Alhamdulillah,
segala puji hanya milik Allah, Rabb
semesta alam, Pembuat
gelap dan terang, yang menguasai hati, pikiran hingga setiap hembusan nafas,
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
dengan judul “Perspektif Religi Tentang Hakikat Pendidikan” ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa ditujukan bagi
Rasulullah, keluarga, para sahabat dan siapa saja yang meneladani Rasullulah
Muhammad S.A.W dengan baik hingga hari
kiamat.
Makalah ini
merupakan salah satu tugas yang diselesaikan
untuk memenuhi tugas lendasan pedagogi. Dalam penulisan makalah ini, penulis
banyak menerima bantuan, bimbingan, arahan dan dorongan semangat dari berbagai
pihak. Untuk itu dengan segala hormat dan kerendahan hati penulis mengucapkan
terimakasih kepada:
- Ibu Dr.Ocih Setiasih, M.Pd. selaku dosen pengampu
mata kuliah landasan pedagogi yang telah membimbing dalam penyusunan
makalah ini.
- Rekan-rekan Program Studi Pendidikan Fisika 2017
kami ucapkan terimakasih atas kerjasama, masukan, dan dukungan yang telah
diberikan
Kami menyadari
sepenuhnya bahwa makalah
ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu berbagai saran dan
masukan terhadap isi dan penyusunan makalah ini sangat kami harapkan demi
penyempurnaan. Akhirnya,
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Bandung, Oktober
2017
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR DAN UCAPAN TERIMAKASIH.................................i
DAFTAR
ISI.........................................................................................................ii
BAB I
PENDAHULUAN.....................................................................................1
A. Latar
Belakang Masalah....................................................................................1
B. Rumusan
Masalah..............................................................................................2
C. Tujuan Penulisan……………………………………………………………... .2
BAB II KAJIAN TEORI
TENTANG PERSPEKTIF RELIGI TENTANG HAKIKAT PENDIDIKAN ................................................................................3
A. Perspektif Religi tentang
Hakikat Manusia………..…......…………………..3
1.
Dimensi Manusia dana Perspektif religi…...............................................5
2.
Potensi Manusia dana Perspektif religi….................................................6
3.
Pengembangan Potensi Manusia dana Perspektif religi............................7
B. Perspektif Religi tentang Tujuan Pendidikan,
Kurikulum, Peranan Pendidik dan Peserta Didik, dan Penciptaan Situasi Pendidikan…….……………………10
1.
Perspektif Religi tentang Tujuan
Pendidikan ...........................................14
2.
Perspektif Religi tentang
Kurikulum ........................................................15
3.
Perspektif Religi tentang Peranan
Pendidik dan Peserta Didik ................17
4.
Perspektif Religi tentang
Penciptaan Situasi Pendidikan .........................18
BAB III PEMBAHASAN.................................................................................. 20
A.
Analisis Perspektif Religi tentang
Hakikat Manusia.....................................
20
B. Perspektif Religi tentang Tujuan Pendidikan,
Kurikulum, Peranan Pendidik dan Peserta Didik, dan Penciptaan Situasi Pendidikan…….……………………..22
BAB IV SIMPULAN DAN
REKOMENDASI……………………………......27
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 29
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan
adalah upaya normatif yang membawa manusia dari kondisi apa adanya kepada
kondisi bagaimana seharusnya. Melalui proses pendidikan diharapkan manusia
berkembang kearah bagaimana dia harus menjadi dan berada, sehingga pendidikan
harus bertolak dari pemahaman tentang hakikat manusia. Pendidik harus memahami
manusia dalam hal aktualisasinya, kemungkinan, dan pemikirannya, bahkan
memahami perubahan yang dapat diharapkan terjadi dalam diri manusia.
Hakikat
manusia yaitu lahir dengan fitrahnya dan memiliki kemerdekaan untuk berkembang,
maka pendidikan harus dipandang sebagai upaya untuk mengembangkan kemerdekaan
manusia yang memungkinkan manusia bereksistensi. Hakikat pendidikan tiada lain
adalah humanisasi. Tujuan pendidikan adalah terwujudnya manusia ideal atau
manusia yang dicita-citakan sesuai nilai-nilai dan norma-norma yang dianut.
Berdasarkan
undang-undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Pasal 3)
yang mengamanatkan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan mengembangkan
potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan pendidikan nasional tersebut menyiratkan bahwa melalui pendidikan
hendak diwujudkan peserta didik yang memiliki berbagai kecerdasan, baik
kecerdasan spiritual, emosional, sosial, intelektual maupun kecerdasan
kinestetika. Pendidikan nasional memiliki misi mulia (mission sacre) terhadap
anak didik, yaitu membangun pribadi yang memiliki ilmu pengetahuan,
meningkatkan kemampuan teknis, mengembangkan kepribadian yang kokoh dan
membentuk karakter yang kuat. Mengingat
hal diatas, maka pendidikan tidak boleh dilaksanakan secara sembarang,
melainkan harus dilaksanakan secara bijaksana. Pendidikan harus dilaksanakan
secara disadari dengan mengacu kepada suatu landasan yang kokoh, sehingga jelas
tujuannya, tepat isi kurikulumnya, serta efisien dan efektif cara-cara
pelaksanaannya. Berdasarkan tujuan
pendidikan nasional maka sangat penting bagi kita mengkaji tentang perspektif
religi tentang hakikat manusia dan implikasinya terhadap dunia pendidikan.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang, rumusan masalah pada makalah
ini adalah bagaimana perspektif religi tentang
hakikat manusia dan implikasinya terhadap dunia pendidikan. Secara
rinci rumusan masalah pada makalah
ini adalah:
1.
Bagaimana dimensi manusia dalam perspektif religi (Islam) ?
2.
Bagaimana
potensi manusia dalam perspektif religi (Islam)
3.
pengembangan potensi manusia
dalam perspektif religi (Islam) ?
4.
Perspektif
Religi tentang Tujuan Pendidikan?
5.
Perspektif
Religi tentang Kurikulum ?
6.
Perspektif
Religi tentang Peranan Pendidik dan Peserta Didik ?
7.
Perspektif
Religi tentang Penciptaan Situasi Pendidikan ?
C.
Tujuan Penulisan
Sesuai dengan rumusan masalah, maka terdapat tujuan pembahasan yaitu:
1. Menjelaskan dimensi manusia
dalam perspektif religi (Islam)
2. Menjelaskan potensi manusia dalam perspektif religi (Islam)
3. Menjelaskan pengembangan potensi manusia dalam perspektif religi
(Islam)
4. Menjelaskan Perspektif
Religi tentang Tujuan Pendidikan
5. Menjelaskan
Perspektif
Religi tentang Kurikulum
6. Menjelaskan Perspektif Religi tentang Peranan Pendidik dan
Peserta Didik
7. Menjelaskan
Religi
tentang Penciptaan Situasi Pendidikan
BAB
II
TEORI
TENTANG PERSPEKTIF RELIGI TENTANG HAKIKAT PENDIDIKAN
A.
Perspektif Religi Tentang Hakikat Pendidikan
Pengertian perspektif menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia yaitu sudut pandang atau pandangan. Menurut Sumaatmadja dan Winardit 1999: perspektif merupakan cara
pandang seseorang atau cara seseorang berperilaku terhadap suatu fenomena
kejadian atau masalah. Sedangkan
menurut Suhanadji dan Waspada
TS 2004: perspektif merupakan cara pandang atau wawasan seseorang dalam menilai masalah yang terjadi di
sekitarnya.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka perspektif
dapat diartikan sebagai cara pandang seseorang terhadap sesuatu.
1. Dimensi Manusia dalam
Perspektif Religi (Islam)
Ada beberapa dimensi manusia dalam pandangan Islam, yaitu
a.
Manusia Sebagai Hamba Allah (Abdullah)
Sebagai hamba Allah, manusia wajib mengabdi dan taat kepada Allah selaku
Pencipta karena adalah hak Allah untuk disembah dan tidak disekutukan Bentuk
pengabdian manusia sebagai hamba Allah tidak terbatas hanya pada ucapan dan
perbuatan saja, melainkan juga harus dengan keikhlasan hati, seperti yang
diperintahkan dalam surah Bayyinah ayat 5: “Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus …,” (QS:98:5). Dalam surah adz- Dzariyat Allah menjelaskan: “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka
menyembah Aku.” (QS51:56). Dengan demikian manusia sebagai
hamba Allah akan menjadi manusia yang taat, patuh dan mampu melakoni perannya
sebagai hamba yang hanya mengharapkan ridha Allah.
b. Manusia Sebagai An- Nas
Manusia, di dalam al- Qur’an juga disebut dengan An-Nas. Konsep An- Nas
ini cenderung mengacu pada status manusia dalam kaitannya dengan lingkungan
masyarakat di sekitarnya. Berdasarkan fitrahnya manusia merupakan makhluk
sosial. Dalam hidupnya manusia membutuhkan pasangan, dan memang diciptakan
berpasang-pasangan seperti dijelaskan dalam surah An- Nisa’, “Hai sekalian manusia, bertaqwalaha kepada
Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah
menciptakan istirinya, dan dari pada keduanya Alah memperkembangbiakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah dengan
(mempergunakan) namanya kamu saling meminta satu sama lain dan peliharalah
hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”
(QS:4:1).
Selanjutnya dalam surah al- Hujurat dijelaskan: “Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan
kamu dari seorng laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu disisi Allah adalah yang paling
taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
(QS: 49:13).
c. Manusia Sebagai khalifah Allah
Hakikat manusia sebagai khalifah Allah di bumi
dijelaskan dalam surah Al- Baqarah ayat 30: “Ingatlah ketika Tuhan-mu berfirman kepada para malaikat:
“Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka
berkata:”Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji engkau dan
mensucikan Engkau?” Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui.” (QS:2:
30), dan surah Shad ayat 26,“Hai
Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (peguasa) di muka bumi, maka
berilah keputusan di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu. Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. …” (QS:38:26).
Dari kedua ayat di atas dapat dijelaskan bahwa
sebutan khalifah itu merupakan
anugerah dari Allah kepada manusia, dan selanjutnya manusia diberikan beban untuk menjalankan fungsi khalifah tersebut sebagai
amanah yang harus
dipertanggungjawabkan. Sebagai khalifah di bumi manusia mempunyai wewenang
untuk memanfaatkan alam (bumi) ini untuk memenuhi Kebutuhan hidupnya sekaligus
bertanggung jawab terhadap kelestarian alam ini. Seperti dijelaskan dalam surah
Al- Jumu’ah, “Maka apabila telah selesai
shalat, hendaklah kamu bertebaran di muka bumi ini dan carilah karunia Allah,
dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.” (QS: 62: 10),
selanjutnya dalam surah Al- Baqarah
disebutkan: “Makan dan minumlah kamu dari
rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu, dan janganlah kamu berbuat bencana
di atas bumi.” (QS: 2 : 60).
d. Manusia Sebagai Bani Adam
Sebutan manusia sebagai bani Adam merujuk kepada
berbagai keterangan dalam Al- Qur’an yang menjelaskan bahwa manusia adalah
keturunan Adam dan bukan berasal dari hasil evolusi dari makhluk lain seperti
yang dikemukakan oleh Charles Darwin. Konsep bani Adam mengacu pada
penghormatan kepada nilai-nilai kemanusiaan. Konsep ini menitik bertakan
pembinaan hubungan persaudaraan antar sesama manusia dan menyatakan bahwa semua
manusia berasal dari keturunan yang sama. Dengan demikian manusia dengan latar
belakang sosia kultural, agama, bangsa dan bahasa yang berbeda tetaplah
bernilai sama, dan harus diperlakukan dengan sama. Dalam surah al- A’raf
dijelaskan: “Hai anak Adam, sesungguhnya
Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah
untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu
adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, semoga mereka selalu ingat.
Hai anak Adam janganlah kamu ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah
mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, …” (QS : 7; 26-27).
e. Manusia Sebagai al- Insan
Manusia disebut al- insan dalam al- Qur’an mengacu
pada potensi yang diberikan Tuhan kepadanya. Potensi antara lain adalah
kemampuan berbicara (QS:55:4), kemampuan menguasai ilmu pengetahuan melalui
proses tertentu (QS:6:4-5), dan lain-lain. Namun selain memiliki potensi
positif ini, manusia sebagai Al- Insan juga mempunyai kecenderungan berprilaku
negatif (lupa). Misalnya dijelaskan dalam surah Hud: “Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat, kemudian rahmat itu
kami cabut dari padanya, pastilah ia menjadi putus asa lagi tidak berterima
kasih.” (QS: 11:9).
f.
Manusia Sebagai Makhluk Biologis (Al- Basyar)
Hasan Langgulung mengatakan bahwa sebagai makhluk
biologis manusia terdiri atas unsur materi, sehingga memiliki bentuk fisik
berupa tubuh kasar (ragawi). Dengan kata lain manusia adalah makhluk jasmaniah
yang secara umum terikat kepada kaedah umum makhluk biologis seperti berkembang
biak, mengalami fase pertumbuhan dan perkembangan, serta memerlukan makanan
untuk hidup, dan pada akhirnya mengalami kematian. Dalam al- Qur’an surah al-
Mu’minūn dijelaskan: “Dan sesungguhnya Kami
telah menciptakan manusia dari sari pati tanah. Lalu Kami jadikan saripati itu
air mani yang disimpan dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu
Kami jadikan segumpal darah, lalu menjadi segumpal daging, dan segumpal daging
itu kemudian Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami
bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk berbentuk lain, maka
Maha Sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.”(QS: Al-Mu’minun: 12-14).
2.
Potensi Manusia dalam Perspektif Religi (Islam)
a. Potensi Ruh dan Nafs
Nafs adalah potensi yang
dilekatkan pada hati nurani untuk membedakan dan memilih jalan yang hak dan
yang batil, jalan menuju ketaqwaan dan jalan menuju kedurhakaan. Bentuk dari
roh ini sendiri pada hakikatnya tidak dapat dijelaskan. Allah swt berfirman: Katakanlah, “Ruh adalah urusan Tuhan-Ku,
kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit”. (QS. Al-Isra: 85). Potensi Nafs terdapat pada surat Asy-Syams ayat 7-8
“…..dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”.
Di dalam hati setiap
manusia telah tertanam potensi ini, yang dapat membedakan jalan kebaikan
(kebenaran) dan jalan keburukan (kesalahan). Menurut Ibn ‘Asyur kata ‘nafs’ pada
surat Asy-Syams ayat ke-7 menunjukan nakiroh maka arti kata tersebut menunjukan
nama jenis, yaitu mencakup jati diri seluruh manusia seperti arti kata ‘nafs’
pada surat Al-infithar ayat 5 yaitu “maka
tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakan dan yang dilalaikannya”
Dengan demikian, dalam
potensi ruhaniyyah terdapat pertanggungjawaban atas diberinya manusia kekuatan
pemikir yang mampu untuk memilih dan mengarahkan potensi-potensi fitrah yang
dapat berkembang di ladang kebaikan dan ladang keburukan ini. Karena itu, jiwa
manusia bebas tetapi bertanggung jawab. Ia adalah kekuatan yang dibebani tugas,
dan ia adalah karunia yang dibebani kewajiban.
b. Potensi Aqliyah
Dengan
potensi ini manusia adalah makhluk yang berkemampuan untuk menyusun konsep-konsep,
mencipta, mengembangkan dan mengemukakan gagasan/ide serta melaksanakannya.
Potensi ini adalah bukti yang membungkamkan malaikat, yang tadinya merasa wajar
untuk dijadikan khalifah di muka bumi, dan karenanya malaikat bersedia sujud
(penghormatan) kepada Adam. Sesuai dengan Firman Allah “Dan
Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia
perlihatkan kepada para malaikat[7] seraya berfirman, "Sebutkanlah
kepada-Ku nama (semua) benda ini jika kamu yang benar”. Q.S Al-Baqarah 31.
c.
Potensi Jasmaniyyah
Potensi
Jasmaniyyah ialah kemampuan tubuh manusia yang telah Allah ciptakan
dengan sempurna, baik rupa, kekuatan dan kemampuan. Sebagaimana pada firman
Allah Al-Qur’an surat At-Tin ayat 4
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.
Kata insan dijumpai dalam Al-Qur’an sebanyak 65 kali.
Penekanan kata insan ini adalah lebih mengacu pada peningkatan manusia ke
derajat yang dapat memberinya potensi dan kemampuan untuk memangku jabatan
khalifah dan meikul tanggung jawab dan amanat manusia di muka bumi, karena
sebagai khalifah manusia dibekali dengan berbagai potensi seperti ilmu,
persepsi, akal dan nurani. Dengan potensi-potensi ini manusia siap dan mampu
menghadapi segala permasalahan sekaligus mengantisipasinya. Di samping itu,
manusia juga dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk yang mulia dan
memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari makhluk lain dengan berbekal
potensi-potensi yag ada. Dalam surah lain disebutkan At-Taghabun ayat 3 “Dia menciptakan langit dan bumi dengan hak,
Dia membentuk rupamu dan membaguskan rupamu itu, dan hanya kepada-Nya-lah
kembali(mu)”.
3.
Pengembangan Potensi Manusia dalam
Perspektif Religi (Islam)
Keempat potensi dasar manusia seperti yang
dijelaskan di atas harus dikembangkan agar bisa berfungsi secara optimal dan
dapat mencapai tujuan yang
sebenarnya. Pengembangan potensi manusia ini harus dilakukan secara
terarah,
bertahap dan berkelanjutan serta dapat dilakukan dengan berbagai cara
dan
pendekatan. Jalaluddin mengatakan ada beberapa pendekatan yang bisa
digunakan
dalam mengembangkan potensi manusia.
a. Pendekatan Filosofis
Menurut pandangan filosofis manusia diciptakan untuk memberikan
kesetiaan, mengabdi dan menyembah hanya kepada penciptanya. Dalam al- Qur’an disebutkan;
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada- Ku.” (QS: adz- Dzāriyat: 56), dengan begitu menurut filosofis Al-Qur’an
manusia memang diciptakan untuk taat dan mengabdi kepada penciptanya. Sesuai
dengan kakikat penciptaannya, maka keberadaan atau eksistensi manusia itu baru
akan berarti, bermakna dan bernilai apabila pola hidup manusia telah sesuai
dengan blue-print yang sudah ditetapkan
oleh Tuhan. Pengembangan potensi manusia harus bisa mengarahkan manusia untuk
menjadi abdi Tuhannya dan mengikuti nilai-nilai yang benar menurut kebenaran
ilahiyah yang hakiki.
b. Pendekatan Kronologis
Pendekatan kronologis memandang manusia sebagai
makhluk evolutif. Manusia tumbuh dan berkembang secara bertahap dan berangsur.
Petumbuhan fisik dan mental manusia diawali dari proses konsepsi, pada tahap
selanjutnya menjadi janin, kemudian lahir menjadi bayi, anak-anak, remaja,
dewasa hingga meninggal. Hal ini terjadi sesuai dengan tahapan-tahapan
pertumbuhan dan perkembangan yang berlaku. Dalam al-Qur’an dijelaskan: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari sari pati tanah. Lalu Kami jadikan
saripati itu air mani yang
disimpan dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan
segumpal darah, lalu menjadi segumpal daging, dan segumpal daging itu kemudian Kami jadikan tulang belulang, lalu
tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk berbentuk lain. Maka Maha
sucilah Allah,
Pencipta yang paling baik.” (QS: al-Mu’minūn: 12-14). Tentang perubahan manusia dari tahap selanjutnya dijelaskan: “Dia-lah
yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani, sesudah itu
dari
segumpal darah, kemudian dilahirkan kamu sebagai seorang anak, kemudian
(kamu dibiarkan hidup) supaya kamu menjadi dewasa, kemudian (dibiarkan kamu
hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang dimatikan sebelum itu. (Kami
perbuat demikian) agar kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan agar kamu
mengetahui.”(QS: al- Mu’min: 67).
Dari ayat-ayat di atas jelaslah bahwa manusia itu
diciptakan melalui berberta tahap yang kronologis. Setiap tahap pertumbuhan dan
perkembangan ditandai dengan adanya ciri khas atau karakteristik yang berbeda
pula. Kemampuan manusiapun mengalami peningkatan sesuai periode pertumbuhan dan
perkembangannya. Dengan demikian maka pengembangan potensi manusia juga harus
mengikuti pertumbuhan fisiknya dan perkembangan mentalnya. Artinya pengembangan
potensi manusia harus diarahkan dan dibina sesuai tahapan-tahapan tumbuh
kembang manusia.
c. Pendekatan Fungsional
Potensi-potensi yang dimiliki manusia diberikan
Tuhan untuk dapat dipergunakan dan difungsikan dalan kehidupan mereka. Karena
tidak mungkin Tuhan menciptakan sesuatu yang tidak bermanfaat. Semua ciptaan
Tuhan mempunyai maksud dan tujuan, temasuk potensi-potensi yang diberikan
kepada manusia. Dalam Al-Qura surat ad-Dukhān ayat 38 dijelaskan; “Dan Kami
tidak menciptakan langit dan
bumi dan apa yang ada di antara keduanya dengan bermain-main.”
Dalam pendekatan ini pengembangan potensi manusia
harus dilaksanakan
sesuai dengan manfaat dan fungsi potensi itu sendiri. Misalnya, dorongan
seksual,
harus dibina dan diarahkan untuk menjaga kelestarian jenis manusia,
bukan untuk
berbuat maksiat atau mencari kesenangan semata. Dorongan naluri lain
lainnya seperti makan, minum dan mempertahankan diri harus diarahkan untuk kelangsungan
hidup, bukan mengumbar nafsu.
d. Pendekatan Sosial
Dalam pendekatan ini manusia dipandang sebagai
makhluk sosial. Manusia dianggap sebagai makhluk yang cenderung untuk hidup
bersama dalam kelompok kecil (keluarga) maupun besar (masyarakat). Seperti
dalam Surah At- Taubah ayat 71 disebutkan “Dan orang-orang mukmin laki-laki dan orang-orang mukmin perempuan,
sebagian mereka menjadi para penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh
yang ma’ruf, mencegah yang munkar, dan melaksanakan shalat secara berkesinambungan,
menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan
dirahmati Allah. Sesungguhnya, Allah Maha Perkasa, lagi Maha Bijaksana {71}.Sebagai makhluk sosial manusia harus mampu mengembangkan potensinya untuk
bisa berinteraksi di dalam lingkungannya dan mampu memainkan peran dan
fungsinya di tengah lingkungannya. Dalam upaya mengembangkan potensi-potensinya
manusia membutuhkan dukungan dan bantuan dari pihak lain di luar dirinya untuk membimbing,
mengarahkan, dan menuntunnya agar pengembangan potensi tersebut berhasil secara
maksimal. Upaya pengembangan potensi ini dilihat dari sudut pandang manapun akan
merujuk kepada pendidikan. Tugas pendidikan dalam pengembangan potensi manusia,
adalah dalam upaya menjaga dan mengerahkan fitrah atau potensi tersebut menuju
kebaikan dan kesempurnaan. Pengembangan berbagai potensi manusia (fitrah) ini
dapat dilakukan dengan kegiatan belajar, yaitu melalui institusi-institusi.
Belajar yang dimaksud tidak harus melalui pendidikan di sekolah saja, tetapi
juga dapat dilakukan di luar sekolah, baik dalam keluarga maupun masyarakat
ataupun melalui institusi sosial yang ada. Kesimpulannnya adalah manusia bisa
mengembangkan seluruh potensinya melalui pendidikan, baik itu pendidikan formal,
informal maupun pendidikan nonformal.
B.
Perspektif Religi Terhadap Tujuan Pendidikan, Kurikulum, Peranan
Pendidik dan Peserta Didik, serta Penciptaan Situasi Pendidikan
Manusia ialah makhluk Allah yang dilahirkan membawa
potensi dapat dididik dan dapat mendidik, sehingga mampu menjadi kholifah di
bumi, pendukung dan pengembang kebudayaan.Ia dilengkapi dengan fitrah Allah berupa bentuk yang dapat
berkembang, sesuai dengan kedudukannya sebagai mahluk yang mulia, pikiran,
perasaan dan kemampuannya berbuat merupakan komponen dari fitrah itu. Fitrah
inilah yang membedakan manusia dengan mahluk yang lain dan membuat manusia itu
istimewa dan lebih mulia daripada makhluk yang lain..
Harapan tercapainya sebuah keberhasilan dalam suatu aktifitas
pendidikan Islam dalam mencapai tujuan yang dirumuskan, banyak dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain: faktor tujuan, faktor pendidik, faktor anak didik,
faktor alat dan metode, dan faktor lingkungan. Di antara kelima faktor tersebut
tidak bisa lepas satu sama lain, di dalam prosesnya saling berkaitan erat
sehingga membentuk satu sistem yang saling mempengaruhi. Pendidikan merupakan
amanah yang harus dikenalkan oleh suatu generasi ke generasi berikutnya,
terutama dari orang tua atau pendidik kepada anak-anak dan murid-muridnya.
Sebagai aktivitas yang bergerak dalam proses pembinaan
kepribadian muslim, maka pendidikan Islam memerlukan asas atau dasar yang
dijadikan landasan kerja. Dengan dasar ini akan memberikan arah bagi
pelaksanaan pendidikan yang telah diprogramkan. Dalam kontek ini, dasar yang
menjadi acuan pendidikan Islam hendaknya merupakan sumber nilai kebenaran dan
kekuatan yang dapat menghantarkan peserta didik ke arah pencapaian pendidikan.
Oleh karena itu, dasar yang terpenting dari pendidikan Islam adalah Al-Qur’an
dan sunnah Rasulullah (hadits).
Dalam pendidikan Islam, sunnah Rasul mempunyai dua fungsi,
yaitu: Menjelaskan sistem pendidikan Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an dan
menjelaskan hal-hal yang tidak terdapat di dalamnya. Menyimpulkan metode
pendidikan dari kehidupan Rasulullah bersama sahabat, perlakuannya terhadap
anak-anak, dan pendidikan keimanan yang pernah dilakukannya. Dalam merumuskan
tujuan pendidikan Islam, paling tidak ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Tujuan dan tugas manusia di muka bumi. baik secara vertikal
maupunhorizontal. Sifat-sifat manusia tututan masyarakat dan dinamika peradaban
2. Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam
Adapun
tujuan pendidikan Islam adalah mengembangkan fitrah peserta didik, baik ruh,
fisik, kemauan, dan akalnya secara dinamis, sehingga akan terbentuk pribadi
yang utuh dan mendukung bagi pelaksanaan fungsinya sebagai khalifah fi al-ardh. Pendekatan tujuan ini merupakan memiliki
makna, bahwa upaya pendidikan Islam adalah pembinaan pribadi muslim sejati yang
mengabdi dan merealisasikan” kehendak tuhan sesuai dengan syariat Islam serta
mengisi tugas kehidupannya di dunia dan menjadikan kehidupan akhirat sebagai
tujuan utama pendidikannya.
Tujuan
pendidikan Islam adalah mendekatkan diri kita kepada Allah dan pendidikan islam
lebih mengutamakan akhlak, untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan kepribadian
manusia (peserta didik) secara menyeluruh dan seimbang yang dilakukan melalui
latihan jiwa, akal pikiran (intelektual), diri manusia yang rasional ; perasaan
dan indera. Karena itu, pendidikan hendaknya mencakup pengembangan seluruh
aspek fitrah peserta didik ; aspek spiritual, intelektual, imajinasi, fisik,
ilmiah, dan bahasa, baik secara individual maupun kolektif ; dan mendorong
semua aspek tersebut berkembang kearah kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan
terakhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna
kepada Allah, baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia.
Tujuan
pendidikan islam secara lebih luas yaitu
untuk:
a.
Pembinaan akhlak
b.
Penguasaan ilmu
c.
Keterampilan bekerja dalam masyarakat
d.
Mengembangkan akal dan akhlak
e.
Pengajaran Kebudayaan
f.
Pembentukan kepribadian
g.
Menghambakan diri kepada Allah
h.
Menyiapkan anak didik untuk hidup di dunia dan akhirat
Adapun dalam proses kependidikan tujuan akhir merupakan tujuan yang tertinggi yang akan dicapai pendidikan
Islam, tujuan terakhirnya merupakan kristalisasi nilai-nilai idealitas Islam
yang diwujudkan dalam pribadi anak didik. Maka tujuan akhir itu harus meliputi
semua aspek pola kepribadian yang ideal.Dalam konsep agama Islam pendidikan itu
berlangsung sepanjang kehidupan manusia, dengan demikian tujuan akhir
pendidikan Islam pada dasarnya sejajar dengan tujuan hidup manusia dan
peranannya sabagai makhluk ciptaan Allah dan sebagi kholifah di bumi.
Sebagaimana diungkapkan Hasan Langgulung bahwa “segala usaha untuk menjadikan
manusia menjadi ‘abid inilah tujuan tertinggi pendidikan dalam Islam. Sebagaimana firman Allah SWT : “ Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku”.(Q.S.Adz-Dzariyat :56)
Pendidikan
sebagai suatu kegiatan mulia dalam islam selalu mengandung nilai-nilai kebaikan
dan kebijakan bagi kemanusiaan, karena
memang aktivitasnya selalu hendak menjadikan manusia sebagai makhluk yang bernilai
moral, baik dalam fungsi sebagai mu’abbid,
khalifah fi al-ardh maupun immarah fi al-ardh. Dalam konteks
pendidikan islam, nilai-nilai moral keagamaan menjadi bagian yang integral
dalam setiap gerak usaha kependidikan yang secara struktural-formal tidak
hanya tercantum dalam tujuan institusional pendidikan saja, tetapi hendaknya
juga terjalin erat dalam setiap denyut nadi aktivitasnya.
Moral
atau akhlak adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau kelompok untuk mengatur tingkah lakunya. Moral berkenaan dengan
kegiatan-kegiatan yang dipandang baik atau buruk, benar/salah, tepat/ tidak
tepat atau menyangkut cara seseorang bertingkah laku dalam hubungan dengan
orang lain.
Membicarakan tujuan
pendidikan umum memang penting, tujuan umum itu menjadi arah pendidikan islam
untuk keperluan pelaksanaan pendidikan, tujuan itu harus dirinci menjadi tujuan
yang khusus, bahkan sampai ketujuan operasional,
usaha merinci tujuan umum itu sudah pernah dilakukan oleh para ahli pendidikan
islam Al-syabani, misalnya,
menjabarkan tujuan islam menjadi:
1.
Tujuan
yang berkaitan dengan individu, mencakup perubahan yang berupa pengetahuan,
tingkah lakum jasmani dan rohani dan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki
untuk hidup didunia dan di akhirat
2.
Tujuan
yang berkaiatan dengan masyarakat mencakup tingkah laku masyarakat, individu
dalam masyarakat, perubahan kehidupan masyarakat dan memperkaya pengalaman
masyarakat.
3.
Tujuan professional
yang berkaitan dengan pendidikan sebagai ilmu, seni profesi dan kegiatan
masyarakat.
Al-
Abrasyi merinci tujuan akhir pendidikan dalam
aspek islam:
a.
Menghambakan diri
kepada Allah Swt
b.
pembinaan akhlak
c.
menyiapkan anak didik
untuk hidup didunia dan akhirat
d.
penguasaan ilmu
e.
memperkuat ikatan
keislaman dalam melayani kepentingan masyarakat islam
f.
keterampilan bekerja
dalam masyarakat
aspek
aspek pembinaan dalam pendidikan islam menurut adalah Al- Abrasyi sebagai
berikut:
a.
aspek jasmani
b.
aspek akal
c.
aspek akidah
d.
aspek akhlak
e.
aspek kejiwaan
f.
aspek keindahan
g.
aspek kebudayaan
Menurut Al-Ghazzali
bahwa setiap pendidikan harus berakhir dengan pencapaian tujuan sebagai
berikut:
1. Insan purna yang bertujuan
mendekatkan diri kepada Allah SWT.
2. Insan purna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Kebahagiaan dunia akhirat dalam pandangan Al-Ghazzali merupakan kebahagian dalam proporsi yang sebenarnya, kebahagiaan yang lebih mempunyai nilai universal, abadi, dan lebih hakiki itulah yang diprioritaskan, sehingga pada akhirnya tujuan ini akan menyatu dengan tujuan yang pertama. Jika pendidikan dapat dipandang sebagai aplikasi pemikiran filsafi dan seorang filosuf bergerak selaras dan sejalan dengan pemikirannya, sistem pendidikan AL-Ghazali pun sejalan dengan dasar pemikiran filsafinya yang mengarah kepada tujuan yang jelas. Dengan demikian, sistem pendidikan haruslah mempunyai filsafat yang mengarah pada tujuan tertentu.
2. Insan purna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Kebahagiaan dunia akhirat dalam pandangan Al-Ghazzali merupakan kebahagian dalam proporsi yang sebenarnya, kebahagiaan yang lebih mempunyai nilai universal, abadi, dan lebih hakiki itulah yang diprioritaskan, sehingga pada akhirnya tujuan ini akan menyatu dengan tujuan yang pertama. Jika pendidikan dapat dipandang sebagai aplikasi pemikiran filsafi dan seorang filosuf bergerak selaras dan sejalan dengan pemikirannya, sistem pendidikan AL-Ghazali pun sejalan dengan dasar pemikiran filsafinya yang mengarah kepada tujuan yang jelas. Dengan demikian, sistem pendidikan haruslah mempunyai filsafat yang mengarah pada tujuan tertentu.
Menurut Al-Ghazali,
pendidikan dalam prosesnya haruslah mengarah kepada mendekatkan diri kepada
Allah dan kesempurnaan insani, mengarahkan manusia untuk mengarahkajn tujuan
hidupnya yaitu bahagia dunia dan akhirat.
Al-Ghazali berkata:
Al-Ghazali berkata:
“ Hasil dari ilmu ialah mendekatkan
diri kepada Allah, Tuhan semesta alam, dan menghubungkan diri dengan para
malaikat yang tinggi dan bergaul dengan alam arwah, itu semua adalah kebenarn,
pengaruh, pemerintaha bagi raja-raja dan penghormatan secara naluri.”
Menurut Al-Ghazali,
pendekatan kepada Allah merupakan tujuan pendidikan. Orang dapat mendekatkan
diri kepada Allah hanya setelah memperoleh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan
itu sendiri tidak akan dapat diperoleh manusia kecuali melalui
pengajaran.Selanjutnya dari kata-kata tersebut dapat dipahami bahwa menutut
Al-Ghazali tujuan pendidikan dapat dibagi menjadi dua, yaitu tujuan jangka
panjang dan tujuan jangka pendek.
a.
Tujuan Jangka Panjang
Tujuan jangka panjang ialah pendekatan diri kepada
Allah.Pendidikan dalam prosesnya harus mengarahkan manusia menuju pengenalan
dan kemudian pendekatan diri kepada tuhan pencipta alam.
b.
Tujuan Jangka Pendek
Menurut Al-Ghazali, tujuan pendidikan jangka pendek
ialah diraihnya profesi manusia sesuai dengan bakat dan kemampuan. Syarat untuk
mencapai tujuan itu, manusia harus mengembangkan ilmu pengetahuan baik yang
termasuk fardhu ain maupun fardu kifayah.
1.
Perspektif
Religi tentang Tujuan Pendidikan
Tujuan
pendidikan dalam perspektif islam adalah suatu perubahan yang diinginkan dan
diusahakan oleh proses pendidikan atau usaha pendidikan untuk mencapainya, baik
dari segi tingkah laku individu dan pada kehidupan pribadinya atau pada
kehidupan masyarakat dan pada alam sekitar tentang kehidupan individu, atau
pada proses kehidupan itu sendiri dan proses pengajaran sebagai suatu aktivitas
asasi dan sebagai proporsi di antara prosesi-prosesi dalam masyarakat.
Tujuan
utama pendidikan dalam Islam adalah mencari ridha Allah swt. Dengan pendidikan,
diharapkan akan lahir individu-indidivu yang baik, bermoral, berkualitas,
sehingga bermanfaat kepada dirinya, keluarganya, masyarakatnya, negaranya dan
ummat manusia secara keseluruhan. Disebabkan manusia merupakan fokus utama
pendidikan, maka seyogianyalah institusi-institusi pendidikan
memfokuskan kepada substansi kemanusiaan, membuat sistem yang mendukung kepada
terbentuknya manusia yang baik, yang menjadi tujuan utama dalam pendidikan.
Dalam pandangan Islam, manusia bukan saja terdiri dari komponen fisik dan
materi, namun terdiri juga dari spiritual dan jiwa. Oleh sebab itu, sebuah
institusi pendidikan bukan saja memproduksi anak didik yang akan memiliki
kemakmuran materi, namun juga yang lebih penting adalah melahirkan
individu-individu yang memiliki diri yang baik sehingga mereka akan menjadi
manusia yang serta bermanfaat bagi ummat dan mereka mendapatkan kebahagiaan di
dunia dan di akhirat. Institusi pendidikan perlu mengarahkan anak didik
supaya mendisiplinkan akal dan jiwanya, memiliki akal yang pintar dan
sifat-sifat dan jiwa yang baik, melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik dan
benar, memiliki pengetahuan yang luas, yang akan menjaganya dari
kesalahan-kesalahan, serta memiliki hikmah dan keadilan.
2.
Perspektif
Religi tentang Kurikulum
Dengan melihat ciri-ciri kurikulum
pendidikan Islam di atas, kurikulum pendidikan Islam disusun dengan mengikuti
tujuh prinsip sebagai berikut :
a) Prinsip pertautan dengan Agama, artinya bahwa semua elemen kurikulum
baik aspek tujuan, materi, alat dan metode dalam pendidikan Islam selalu
menyandarkan pada dasar-dasar ajaran Islam yang tertuang dalam Al-Qur’an dan
Al-Hadits.
b) Prinsip Universal, universal disini dimaksudkan bahwa tujuan dan
cakupan kurikulum pendidikan Islam harus mencakup semua aspek yang mendatangkan
manfaat, baik bagi peserta didik, baik yang bersifat jasmaniyah maupun
rohaniyah. Cakupan isi kurikulum menyentuh akal dan qalbu peserta
didik. Pendidikan yang dikembangkan sebisanya dikembangkan bukan pendidikan
sekuler, melainkan sebaliknya yaitu pendidikan rasional yang mempunyai arti
mengajarkan materi-metari yang bermanfaat bagi kehidupan akhirat dan dunia bagi
peserta didik. Dengan demikian dalam pendidikan Islam tidak ada dikotomi antara
ilmu umum dan ilmu Agama.
c) Prinsip Keseimbangan antara tujuan yang ingin dicapai suatu
lembaga pendidikan dengan cakupan materi yang akan diberikan kepada peserta
didik. Keseimbangan ini meliputi materi yang bersifat religi-akhirat dan
profane-keduniaan dengan mencegah orientasi sepihak saja. Hakikat dari prinsip
keseimbangan ini , didasarkan pada firman Allah Swt dalam surat al-Qashas ayat
77.
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan
Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri kalian, dan janganlah kamu melupakan
kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di (muka) bumi. Sessungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan”.
Ayat tersebut adalah
perintah yang bersifat wajib, artinya umat Islam wajib melaksanakan
keseimbangan hidup antara keduniaan dan keakhiratan, kesimbangan cara berfikir
bersifat rasional dan hati nurani. Apabila kita kaitkan dengan penyusunan kurikulum
maka pedoman kurikulum mencerminkan keseimbangan tujuan pembelajaran dan
materi-materi yang diarahkan pada pencapaian keseimbangan tujuan duniawi dan
tujuan ukhrowi.
d) Prinsip Keterkaitan dengan bakat, minat, kemampuan dan kebutuhan
pelajar, dengan lingkungan sekitar baik fisik maupun social. Dengan prinsip ini
kurikulum pendidikan Islam berkeinginan menjaga keaslian peserta didik yang
bisa disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
e) Prinsip fleksibelitas, maksudnya kurikulum pendidikan Islam
dirancang dan dikembangkan berdasakan prinsip dinamis dan up to date terhadap
pekembangan dan kebutuhan masyarakat, bangsa dan negara. Anak didik yang
berkarakter menjadi dambaan bukan hanya sebagai orang tua tetapi juga menadi
kebutuhan bangsa dan Negara mengingat anak merupakan generasi penerus bangsa
yang akan mengemban amanat kepemimpinan di masa yang akan datang.
f) Prinsip memperhatikan perbedaan individu, peserta didik
merupakan pribadi yang unik dengan keadaan latar belakang sosial ekonomi dan
psikologis yang beraneka macam, maka penyusunan kurikulum pendidikan Islam
haruslah memperhatikan keberAgamaan latar belakang tersebut demi tercapainya
tujuan pendidikan itu sendiri.
g) Prinsip pertautan antara mata pelajaran dengan aktifitas fisik
yang tercakup dalam kurikulum pendidikan Islam. Petautan ini menjadi urgen
dalam rangka memaksimalkan peran kurikulum sebagai sebuah program dengan tujuan
tercapainya manusia yang berakhlak.
Dari
prinsip-prinsip yang telah disebutkan di atas, al-Syaibani mengatakan bahwa
kurikulum pendidikan Islam merupakan kurikulum yang diilhami oleh nilai dan
ajaran Agama Islam, yang selalu berkomitmen memperhatikan aktifitas manusia
modern. Meskipun dikatakan bahwa kurikulum pendidikan Islam bersifat fleksibel
dengan mengikuti dinamika perubahan zaman, namun tetap dengan memegang teguh
identitas keIslamannya. Lebih lanjut, al-Syaibani memberikan pemahaman tentang
kurikulum pendidikan Islam berdasarkan prinsip-prinsip menitik
beratkan kepada 6 hal, yaitu :
1) Materi yang bersifat keAgamaan diberikan kepada peserta didik
dengan maksud terbentuknya jiwa peserta didik yang sempurna dan utama.
2) Materi keAgamaan mendapatkan prosi yang lebih dibandingkan ilmu
yang lain karena materi ini merupakan sendi pembentukan moral yang luhur
3) Selain memberikan materi yang bersifat keAgamaan, kurikulum
pendidikan Islam juga menaruh perhatian terhadap materi yang bersifat
keduniaan, dengan tujuan memberikan pengalaman untuk bergaul dengan sesame
manusia.
4) Ilmu pengetahuan yang yang dipelajari dalam Islam memperhatikan
prinsip ilmu untuk ilmu, yang karenannya mempelajari pengetahuan dalam
pandangan para pemikir Islam merupakan suatu kenikmatan.
5) Pendidikan kejuruan, teknik dan perindutrian diperhatikan dalam
pendidikan Islam sebagai alat pencari penghidupan.
6) Suatu materi adalah alat dan pembuka untuk mempelajari ilmu-ilmu
lain.
3.
Perspektif
Religi tentang Peranan Pendidik dan Peserta Didik
Menurut Ahmad D. Marimba tugas pendidik dalam pendidikan Islam
adalah membimbing dan mengenal kebutuhan atau kesanggupan peserta didik,
mencipytakan situasi yang kondusif bagi berlangsungnya proses kependidikan,
menambah dan mengembangkan pengetahuan yang dimiliki guna
ditransformasikan kepada peserta didik, serta senantiasa membuka diri terhadap
seluruh kelemahan dan kekurangannya.
Imam Ghazali mengemukakan bahwa tugas pendidik yang
utama adalah menyempurnakan, membersikan, mensucikan, serta membawa hati
manusia untuk taqarrub ila Allah. Para pendidik hendaknya
mengarahkan para peserta didik untuk mengenal Allah lebih dekat lagi melalui
seluruh ciptaan-Nya. Para pendidikan dituntut untuk dapat mensucikan jiwa
pesertaa didiknya. Hanya melalui jiwa-jiwa yang suci manusia akan dapat dengan
Khaliq-Nya. Berdasarkan konsep tersebut, An-Nahlawi menyimpulkan bahwa selain
bertugas mengalihkan berbagai pengeetahuan dan keterampilan kepada peserta
didik, tugas utama yang harus dilakukan pendidik adalah tazkiyat
an-nafs yaitu mengembangkan, membersikan, mengangkat jiwa peserta
didik kepada Khaliq-Nya, menjauhkannya dari kejahatan dan menjaganya agar tetap
kepada fitrah-Nya.
Syekh Al-Jarnuzi dalam kitab “Ta’lim
al-Muta’allim” menerangkan sifat dan tugas dalam menuntut ilmu yaitu :
1. Tawadlu’, iffah, sabar, cinta ilmu, hormat kepada guru, dan sesama
penuntut ilmu.
2. Tekun belajar.
3. Wara’ (menahan diri dari perbuatan yang terlarang).
4. Punya cita-cita yang tinggi.
5. Tawakal.
4.
Perspektif
Religi tentang Penciptaan Situasi Pendidikan
Prinsip
dalam sebuah model pembelajaran memiliki posisi penting sebab dengan adanya
prinsip sebuah model pembelajaran dapat berjalan sesuai dengan gaya dan aturan
yang telah ditentukan. Dengan kata lain prinsip berfungsi sebagai jalan untuk
melapangkan sebuah proses pembelajaran. Dan prinsip ini adalah prinsip dasar
yang dapat dikembangkan sesuai dengan situasi dan lingkungan. Al-Qur’an dari
berbagai ayat yang tersebar, dapat ditemukan prinsip-prinsip yang mendasari
pengembangan teori ini dari model pembelajaran Qur’ani, yaitu : yang pertama,
kasih sayang. Esensi al-Qur’an tentang pendidikan seluruhnya diwarnai oleh
prinsip kasih sayang.
Kedua,
kegembiraan, semua
proses pembelajaran harus dibarengi dengan suasana gembira yang tetap pada
batas kebenaran, bukankah al-Qur’an telah menjelaskan bahwa Rasulullah saw
diutus untuk membawa kabar gembira dan peringatan. Qs al-Baqarah
119..
Ketiga,
keterbukaan, prinsip keterbukaan lahir dari pandangan bahwa kualitas manusia
terletak pada konteks hubungan dengan manusia lain dalam bentuk dialogis antara
pendidik dengan terdidik. Keterbukaan yang ditampilkan dalam suasana pendidikan
tersebut menjadi prinsip dasar keseluruhan konsep pendidikan Qur’ani.
Keempat,
keseimbangan, pada dasarnya keseimbangan merupakan prinsip yang diletakkan
Allah swt pada seluruh ciptaan-Nya. Dalam pendidikan Qur’ani, konsep ini
ditujukan kepada kodrat dasar manusia sebagai makhluk Allah yang memiliki
dimensi fisik dan ruhani dan kualitasnya sangat ditentukan oleh adanya
keseimbangan. Keseimbangan yang dimaksud adalah keselarasan. seperti konsep
shalat, amar ma’ruf, nahi munkar dan sabar. Qs lukman : 16.
Kelima,
keterpaduan lingkungan atau integralitas adalah gagasan yang menjadi prinsip
pendidikan Qur’ani yang merupakan implikasi dan keutuhan pandangan al-Qur’an
terhadap manusia.
BAB
III
PEMBAHASAN
A.
Analisis Perspektif Religi Tentang Hakikat Manusia.
Kajian tentang hakikat manusia berdasarkan perspektif
religi agama Islam sangat lengkap dan terperinci. Mulai dari siapa manusia,
tujuan penciptaan manusia, bagaimana
manusia diciptakan, perkembangan manusia semua telah diatur oleh Allah SWT dengan sebaik-baiknya ketentuan. Allah SWT
sangat memuliakan manusia dibanding makhluk ciptaanya yang lain. Oleh sebab itu
sebagai makhluk yang dimuliakan sudah seharusnya pula kita harus memuliakan
Allah, menjadi hamba Allah yang seutuhnya. Terlebih atas nikmat dan karunia
yang tak henti-hentinya telah diberikan Allah pada manusia, mulai dari dalam
kandungan hingga saat ini. Secara garis besar Allah telah menciptakan manusia dengan
segala potensi yang dimilikinya baik secara ruh dan nafs, aqliyah, jasmaniah.
Namun dari itu semua sesungguhnya masih banyak pula nikmat potensi dari dalam
diri manusia yang tak akan bisa di sebutkan oleh manusia siapapun.
Dalam
penerapan dilapangan pendidikan religi tidak hanya dibutuhkan oleh
sekolah-sekolah yang berlatar belakang pendidikan Islam. Nilai
– nilai religi juga harus
diterapkan di sekolah – sekolah umum.
Hal ini dikarenakan nilai – nilai religi mengajarkan tentang kebaikan, tata
krama, sopan santun, dan cara berinteraksi dengan sesama dengan baik sehingga
tidak hanya siswa di sekolah – sekolah berbasis agama yang perlu dibina aspek
sikap spiritual dan sosialnya tetapi juga siswa di sekolah – sekolah umum.
Sejatinya
pendidikan adalah wadah menyiapkan generasi bangsa sebelum menuju pada
kehidupan bermasyarakat yang akan di hadapi setiap manusia.Di dalam Pancasila
yang merupakan landasan bangsa Indonesia menyebutkan dan meletakkan nilai-nilai
religi dalam sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Artinya sebagai bangsa
Indonesia maka keharusan bagi kita untuk taat pada aturan-aturan Tuhan dari
masing-masing masyarakatnya. Tujuannaya adalah dalam hidup bermasyarakat
masyarakat Indonesia menempatkan nilai-nilai religi sebagai landasan bermasyarakat
yang baik.
Menurut perspektif religi Islam pendidikan akan
bermutu apabila mampu menyeimbangkan antara nilai-nilai Islami dan nilai-nilai
keilmuan. Namun fakta dilapangan ditemukan bahwa banyak Negara-negara yang
notabene adalah non-muslim bahkan atheis memiliki tingkat pendidikan yang
terbaik didunia bahkan menajdi Negara adidaya. Menanggapi fenomena ini, apa
yang telah disampaiakan tentang perspektif religi Islam, bahwa pendidikan akan
bermutu apabila mampu menyeimbangkan antara nilai-nilai Islami dan nilai-nilai
keilmuan bukanlah hal yang salah. Islam juga pernah menguasaia peradaban dunia
dibuktikan dengan penaklukan Spanyol, Afrika Utara yang sempat dijadikan
sebagai salah satu provinsi
dari Dinasti Bani Umayah.
Dari Spanyol Islam itulah Eropa banyak
menimba ilmu pengetahuan. Ketika Islam mencapai masa keemasannya, kota Cordoba
dan Granada di Spanyol merupakan pusat-pusat peradaban Islam yang sangat
penting saat itu dan dianggap menyaingi Baghdad di Timur. Ketika itu,
orang-orang Eropa Kristen, Katolik maupun Yahudi dari berbagai wilayah dan
negara banyak belajar di perguruan-perguruan tinggi Islam di sana. Islam
menjadi “guru” bagi orang Eropa. Di sini pula mereka
dapat hidup dengan aman penuh dengan kedamaian dan toleransi yang tinggi,
kebebasan untuk berimajinasi dan adanya ruang yang luas untuk mengekspresikan
jiwa-jiwa seni dan sastra.
Islam sendiri
juga memiliki ilmuan-ilmuan yang hebat dan juga
pernah menguasai peradaban dunia. Sebagai contoh ilmuan Islam yang
terkenal adalah Al Farabi. Beliau adalah Filusuf Islam, karyanya yang paling
terkenal adalah mencapai kebahagiaan melalui kehidupan berpolitik. Al-Batani,
seorang astronomi dan matematikawan Arab. karyanya yang paling terkenal adalah
penentuan tahun matahari sebagai 365 hari 5 jam 46 menit dan 24 detik.
Al-Batani juga menemukan persamaan trigonometri dan memecahkan persamaan sin x = a cos x dan menemukan gagasan tentang tangen (tan). Ibnu Sina seorang filusuf,
ilmuan dan dokter kelahiran, karyanya yang paling terkenal adalah Qanun Fi Thlib
yang dijadikan rujukan di bidang kedokteran selama berabad-abad. Al-Khawarizmi
ahli matematika, astronomi, astrologi, dan geografi. Ilmuan-ilmuan diatas hanyalah sebagain dari sekian banyak
ilmuan-ilmuan dari umat Islam. Sehingga tidak bisa disangkal bahwa dengan
menyeimbangkan antara nilai-nilai Islami dan nilai-nilai keilmuan akan
mengantarkan pendidikan kearah yang lebih.
Perspektif
Islam memandang kesuksesan suatu pendidikan terlihat dari keseimbangan antara
aktualisai nilai-nilai Islami dan nilai-nilai keilmuan dalam pendidikan. Islam
memandang keimanan seorang muslim adalah yang paling diutamakan, sebagaimana
firman Allah SWT : “ Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku”.(Q.S.Adz-Dzariyat :56). Pentingnya keimanan
seorang muslim sering dianalogikan sebagai berikut,
Muslim yang memiliki iman akan memiliki nilai 1, jika ia memiliki kecerdasan
bernilai 0, jika ia memiliki skill ia bernilai 0, dan seterusnya. Dari contoh
tersebut dapat dinilai muslim tersebut bernilai 100. Namun dari jika seorang
manusia tidak memiliki point pertama yaitu iman yang bernilai 1, maka nilai
manusia tersebut adalah 00.
Pada
hakikatnya ilmu yang didapat merupakan bekal untuk beribadah, semakin banyak
ilmu yang didapat maka akan semakin menambah keimanan kita pada Allah. Ilmu-ilmu
yang kita pelajari pada umumnya adalah ilmu yang membahas tentang karunia Allah
dari segi penciptaan ataupun tata cara
berkehidupan yang benar. Negara – negara yang
penduduknya tidak mengintegrasikan pendidikan
religi
(atheis) dan tidak
mengintegrasikan nilai – nilai religi dalam pendidikan memang bisa memiliki
pendidikan yang bagus dan maju.
Namun kemajuan
pendidikannya tersebut hanya dari aspek pengetahuan dan keterampilan. Hal ini
dikarenakan mereka hanya memperhatikan aspek pengetahuan dan keterampilan saja.
Sementara itu dalam bidang sikap spiritual dan sosial masih belum dapat
dikatakan baik. Justru negara – negara yang mengintegrasikan nilai – nilai
religi memiliki hasil pendidikan dalam aspek sikap yang lebih baik. Hal ini
dikarenakan nilai – nilai religi dan tata krama ditanamkan dan dikembangkan
kepada anak di sekolah sehingga mereka tidak hanya pandai akan pengetahuan dan
keterampilan tetapi juga memiliki akhlak yang baik.
B.
Kajian Perspektif Religi Terhadap Tujuan Pendidikan, Kurikulum, Peranan
Pendidik dan Peserta Didik, serta Penciptaan Situasi Pendidikan
Pendidikan
adalah proses yang bertumpu pada tujuan. Pendidikan yang dimaksud adalah usaha
untuk melestarikan dan mengalihkan serta mentransformasikan nilai-nilai
kebudayaan dalam segala aspek dan jenisnya kepada generasi penerus. Pendidikan menurut perspektif Islam
itu tidak hanya memperhatikan satu aspek saja, tetapi segala aspek yang ada,
meliputi aspek jasmani, rohani dan aspek akal pikiran serta aspek akhlaq. Oleh
karena itu setiap proses pendidikan yang akan dilaksanakan harus memperhatikan
beberapa hal
Tujuan
pendidikan Islam adalah mendekatkan diri kita kepada Allah dan pendidikan islam
lebih mengutamakan akhlak, untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan kepribadian
manusia (peserta didik) secara menyeluruh dan seimbang yang dilakukan melalui
latihan jiwa, akal pikiran (intelektual), diri manusia yang rasional ; perasaan
dan indera. Karena itu, pendidikan hendaknya mencakup pengembangan seluruh
aspek fitrah peserta didik ; aspek spiritual, intelektual, imajinasi, fisik,
ilmiah, dan bahasa, baik secara individual maupun kolektif ; dan mendorong
semua aspek tersebut berkembang kearah kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan
terakhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna
kepada Allah, baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia.
a.
Perspektif
Religi tentang Tujuan Pendidikan
Tujuan
utama pendidikan dalam perspektif Islam
adalah mencari ridha Allah swt. Dengan pendidikan, diharapkan akan lahir
individu-indidivu yang baik, bermoral, berkualitas, sehingga bermanfaat kepada
dirinya, keluarganya, masyarakatnya, negaranya dan ummat manusia secara
keseluruhan. Disebabkan manusia merupakan fokus utama pendidikan, maka seyogianyalah
institusi-institusi pendidikan memfokuskan kepada substansi
kemanusiaan, membuat sistem yang mendukung kepada terbentuknya manusia yang
baik, yang menjadi tujuan utama dalam pendidikan.
b.
Perspektif
Religi tentang Kurikulum
Kurikulum
pendidikan Islam disusun dengan mengikuti tujuh prinsip yaitu, Prinsip pertautan dengan Agama, Prinsip Universal, Prinsip
Keseimbangan, Prinsip Keterkaitan dengan bakat, minat, kemampuan dan kebutuhan
pelajar, Prinsip fleksibelitas, Prinsip memperhatikan perbedaan individu, dan Prinsip pertautan antara
mata pelajaran dengan aktifitas fisik yang tercakup dalam kurikulum pendidikan
Islam.
Dari
prinsip-prinsip tersebut
dapat disimpulkan bahwa kurikulum
pendidikan Islam merupakan kurikulum yang diilhami oleh nilai dan ajaran Agama
Islam, yang selalu berkomitmen memperhatikan aktifitas manusia modern. Meskipun
dikatakan bahwa kurikulum pendidikan Islam bersifat fleksibel dengan mengikuti
dinamika perubahan zaman, namun tetap dengan memegang teguh identitas keIslamannya.
c.
Perspektif
Religi tentang Peranan Pendidik dan Peserta Didik
Para pendidik dalam pembelajaran hendaknya mengarahkan
para peserta didik untuk mengenal Allah lebih dekat lagi melalui seluruh
ciptaan-Nya. Para pendidikan dituntut untuk dapat mensucikan jiwa pesertaa
didiknya. Hanya melalui jiwa-jiwa yang suci manusia akan dapat dengan
Khaliq-Nya. Berdasarkan konsep tersebut, An-Nahlawi menyimpulkan bahwa selain
bertugas mengalihkan berbagai pengeetahuan dan keterampilan kepada peserta
didik, tugas utama yang harus dilakukan pendidik adalah tazkiyat
an-nafs yaitu mengembangkan, membersikan, mengangkat jiwa peserta
didik kepada Khaliq-Nya, menjauhkannya dari kejahatan dan menjaganya agar tetap
kepada fitrah-Nya.
d.
Perspektif
Religi tentang Penciptaan Situasi Pendidikan
Prinsip
dalam sebuah model pembelajaran memiliki posisi penting sebab dengan adanya
prinsip sebuah model pembelajaran dapat berjalan sesuai dengan gaya dan aturan
yang telah ditentukan. Dalam Islam
prinsip yang harus ditekankan dalam pembelajaran yaitu
1). Kasih sayang
Pendidikan
adalah implementasi dari kasih sayang yang secara fitrah dimiliki oleh setiap
individu. Dalam konteks pendidikan kasih sayang ini menjadi dasar yang kokoh
bagi komunikasi pendidikan yang terjadi pada pelaksanaan kegiatan belajar
mengajar. Allah swt lebih jauh lagi menjelaskan bagaimana pengajaran yang baik
melalui kasih sayang sebagaimana pengajaran, nasihat dan wejangan nabi Musa as
dan Harun as kepada Fir’aun.
2). Kegembiraan
Prinsip kegembiraan adalah salah satu
inti dari sebuah penyampaian atau pengajaran (pembelajaran) dengan adanya ilmu
pengetahuan yang disampaikan kepada anak didik adalah suatu berita gembira yang
harus dirayakan dalam bentuk ketekunan belajar dan mengamalkannya. Berdasarkan surah Al-Baqarah ayat 119 dijelaskan bahwa
apa-apa yang dibawa oleh Rasulullah adalah suatu kebenaran, bersifat tetap dan
tegas yaitu akidah, syari’ah, dan mu’amalah semuanya dapat memberikan
kebahagiaan bagi siapa saja yang mengambilnya sebagai petunjuk dan peringatan.
Kegembiraan dalam belajar akan menghasilkan keriangan sehingga pembelajaran
dapat berjalan dengan mudah.
3). Keterbukaan
Prinsip keterbukaan lahir dari pandangan
bahwa kualitas manusia terletak pada konteks hubungan dengan manusia lain dalam
bentuk dialogis antara pendidik dengan terdidik. Keterbukaan yang ditampilkan
dalam suasana pendidikan tersebut menjadi prinsip dasar keseluruhan konsep
pendidikan Qur’ani.
4).
Keseimbangan.
Konsep ini ditujukan kepada kodrat dasar
manusia sebagai makhluk Allah yang memiliki dimensi fisik dan ruhani dan
kualitasnya sangat ditentukan oleh adanya keseimbangan. Berdasarkan penjelasan surah Qs
lukman : 16 bentuk
keseimbangan antara peran individu dan social, yaitu hubungan individu dengan
Allah, hubungan dengan sesama manusia serta hubungan individu dengan dirinya
sendiri ini mengisyaratkan bentuk keseimbangan antara peran individu dan
social, yaitu hubungan individu dengan Allah, hubungan dengan sesama manusia
serta hubungan individu dengan dirinya sendiri
5).
Keterpaduan lingkungan
Dalam
prinsip ini terdidik dipandang sebagai manusia dengan segala atribut yang
dimilikinya, yang terpadu secara utuh, karena itu, dalam tindakan praktis
pendidikan, upaya-upaya yang dilakukan pendidik senantiasa didasarkan pada keterpaduan
dan integralitas.
Konsep kegembiraan dan
keseimbangan dalam pendidikan dari perspektif
Islam Agama
Islam adalah memberikan tuntunan kepada guru untuk mendidik
siswa dengan kasih sayang, mengurangi hukuman dan emosi amarah, dan memberikan
hadiah untuk meningkatkan motivasi siswa. Guru hendaknya bersikap sabar, penuh
kasih sayang, dan menghadirkan kegembiraan dalam proses pembelajaran. Sedangkan
keseimbangan memberikan konsep.
Berkaitan dengan rancangan
pemerintah tentang fullday school, melalui perspektif Islam penulis memaandangn
bahwa fullday school bukanlah suatu program yang dapat mengekang anak-anak,
mengurangi waktu bermain anak, namun lebih pada pengkondisian anak ditempat
yang terjaga. Artinya apabila disekolah maka banyak aktifitas anak yang terkendali
ketika orang tuanya tidak berada dirumah. Seperti dapat meminimalisasi anak
dalam hal penggunaan teknologi yang tidak perlu untuk hal-hal kesenangan
sementara. Selain itu juga merupakan bentuk pengkondisian anak dari hal-hal
buruk yang ada di lingkungan.
Full
Day School bertujuan untuk membantu orangtua dalam menjaga dan memperhatikan
anak ketika mereka sedang sibuk bekerja di luar rumah. Selain itu Full Day
School yang berlaku selama 5 hari akan memberikan waktu libur akhir pekan lebih
lama, yaitu selama 2 hari pada hari Sabtu dan Minggu kepada anak sehingga dapat
dimanfaatkan untuk berkumpul bersama keluarga, mengaji, dan aktivitas
nonakademik lainnya. Siswa tetap dapat mengaji pada akhir pekan atau pada malam
hari baik di pengajian maupun meminta guru ngaji untuk datang ke rumah.
BAB IV
SIMPULAN DAN REKOMENDASI
A.
Simpulan
Berdasarkan
pembahasan dalam makalah ini, dapat kita simpulkan bahwa:
1.
Perspektif
adalah cara pandang seseorang
terhadap sesuatu.
Perspektif religi tentang hakikat manusia dapat
ditinjau dari berbagai sudut pandang, baik dari
sudut pandang dimensi manusia, potensi manusia, dan pengembangan potesi menusia
yang implikasinya diterapkan dalam pendidikan.
2.
Dimensi manusia
dalam perspektif religi (Islam) digolongkan pada sudut pandang manusia sebagai
hamba Allah, Nas, Khalifah, Bani Adam, Insan, Makhluk Biologis dan Al-Basyar.
3.
Potensi yang dimiliki manusia dalam perspektif religi (Islam) digolongkan pada potensi Ruh dan Nafs,
Akhliyah, dan Jasmaniayah.
4.
Pengembangan potensi manusia yang implikasinya diterapkan dalam
pendidikan dalam perspektif religi digolongkan pada pendekatan filosofi,
kronologis, fungsional, dan social.
5.
Tujuan utama pendidikan
dalam Islam adalah mencari ridha Allah swt. Dengan pendidikan, diharapkan akan
lahir individu-indidivu yang baik, bermoral, berkualitas, sehingga bermanfaat
kepada dirinya, keluarganya, masyarakatnya, negaranya dan ummat manusia secara
keseluruhan.
6.
Dalam perspektif Islam,
kurikulum hendaknya memiliki prinsip – prinsip : pertautan dengan agama,
universal, seimbang antara tujuan dan cakupan materi, keterkaitan dengan bakat,
minat, kemampuan dan kebutuhan pelajar, dengan lingkungan sekitar baik fisik
maupun sosial, fleksibelitas, memperhatikan perbedaan individu, peserta didik
merupakan pribadi yang unik dengan keadaan latar belakang sosial ekonomi dan
psikologis yang beraneka macam, serta pertautan antara mata pelajaran dengan
aktifitas fisik yang tercakup dalam kurikulum pendidikan Islam.
7.
Tugas pendidik dalam pendidikan Islam adalah
membimbing dan mengenal kebutuhan atau kesanggupan peserta didik, mencipytakan
situasi yang kondusif bagi berlangsungnya proses kependidikan, menambah dan
mengembangkan pengetahuan yang dimiliki guna ditransformasikan kepada
peserta didik, serta senantiasa membuka diri terhadap seluruh kelemahan dan
kekurangannya.
B. Rekomendasi
Rekomendasi
yang dapat penulis ajukan adalah sebagai berikut :
1. Penekanan kembali nilai-nilai religi baik di sekolah
Islam yang sudah menerapkannya maupun disekolah umum, dikarenakan
nilai – nilai religi mengajarkan tentang kebaikan, tata krama, sopan santun,
dan cara berinteraksi. Hal ini
diharpkan dapat mendidik manusia yang
mampu membawa peradaban bagi dunia yang
tidak hanya pandai akan pengetahuan dan keterampilan tetapi juga memiliki
akhlak yang terpuji.
2. Karena latar belakang penulis adalah muslim maka dalam
injauan teori dan pembahasan penulis menggunakan perspektif ajaran Agama Islam.
Bagi para pembaca yang memiliki latar belakang identitas dan ilmu agama
non-muslim bisa juga menambahkan perspektif dari agama masing-masing.
3. Untuk lebih memahami perspektif religi tentang
pendidikan pembaca dapat menelaah dalil-dalik tentang perspektif Islam tentang
pendidikan dalam Al-Quran dan Al-Hadits.
DAFTAR
PUSTAKA
Abidin, Zaenal Konsep Model Pembelajaran Dalam
perspektif al-Qur’an, hlm 158-163.
Al-Baqas. (2011). Sejarah
Peradaban Islam di Eropa (711M-1492M). [ Online]
Tersedia https://aagun74alqabas.wordpress.com/2011/05/01/sejarah-peradaban-islam-di-eropa-711m-1492m/.
Diakses pada tanggal 16 Oktober 2017
Alifah, Nurul. dan AZ, Rahmi. (2013). Potensi Dasar Manusia dan Tugas
Manusia
dalam Islam, [Online] Tersedia https://authorahmi.wordpress.com/2013/10/21/potensi-dasar-manusia-dan-tugas-manusia-dalam-islam/.
Diakses pada tanggal 4 September 2017
Khasinah, Siti. 2013.
Hakikat Manusia Menurut Pandangan Islam dan Barat.Jurnal Ilmiah Didaktika. VOL. XIII, NO. 2, 296-317. jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/didaktika/article/download/480/398. Diakses pada tanggal 4 September 2017
Samsul Nizar, 2002, Filsafat
Pendidikan Islam: Pendekatan historis teoritis dan praktis, Jakarta:
Ciputat Pres, hal: 44.
Komentar
Posting Komentar