Langsung ke konten utama

PERSPEKTIF RELIGI TENTANG HAKIKAT PENDIDIKAN



MAKALAH
PERSPEKTIF RELIGI TENTANG HAKIKAT PENDIDIKAN



Diajukan untuk Memenuhi Tugas Landasan Pedagogi



 









M FURQON
NOVIANA PUTRI  




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA
SPS UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
OKTOBER, 2017





KATA PENGANTAR DAN UCAPAN TERIMAKASIH


            Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam, Pembuat gelap dan terang, yang menguasai hati, pikiran hingga setiap hembusan nafas, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Perspektif Religi Tentang Hakikat Pendidikan” ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa ditujukan bagi Rasulullah, keluarga, para sahabat dan siapa saja yang meneladani Rasullulah Muhammad S.A.W  dengan baik hingga hari kiamat.
Makalah  ini merupakan salah satu tugas yang diselesaikan untuk memenuhi tugas lendasan pedagogi. Dalam penulisan makalah ini, penulis banyak menerima bantuan, bimbingan, arahan dan dorongan semangat dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala hormat dan kerendahan hati penulis mengucapkan terimakasih kepada:
  1. Ibu Dr.Ocih Setiasih, M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah landasan pedagogi yang telah membimbing dalam penyusunan makalah ini.
  2. Rekan-rekan Program Studi Pendidikan Fisika 2017 kami ucapkan terimakasih atas kerjasama, masukan, dan dukungan yang telah diberikan
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu berbagai saran dan masukan terhadap isi dan penyusunan makalah ini sangat kami harapkan demi penyempurnaan. Akhirnya, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.




Bandung,  Oktober 2017


Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAN UCAPAN TERIMAKASIH.................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah....................................................................................1
B. Rumusan Masalah..............................................................................................2
C. Tujuan Penulisan……………………………………………………………... .2

BAB II KAJIAN TEORI TENTANG PERSPEKTIF RELIGI TENTANG HAKIKAT PENDIDIKAN ................................................................................3
A.    Perspektif Religi tentang Hakikat Manusia………..…......…………………..3
1.                              Dimensi Manusia dana Perspektif religi…...............................................5
2.               Potensi Manusia dana Perspektif religi….................................................6
3.               Pengembangan Potensi Manusia dana Perspektif religi............................7
B.  Perspektif Religi tentang Tujuan Pendidikan, Kurikulum, Peranan Pendidik dan Peserta Didik, dan Penciptaan Situasi Pendidikan…….……………………10
1. Perspektif Religi tentang Tujuan Pendidikan ...........................................14
2. Perspektif Religi tentang Kurikulum ........................................................15
3. Perspektif Religi tentang Peranan Pendidik dan Peserta Didik ................17
4. Perspektif Religi tentang Penciptaan Situasi Pendidikan .........................18

BAB III PEMBAHASAN.................................................................................. 20
A.    Analisis Perspektif Religi tentang Hakikat Manusia..................................... 20
B.  Perspektif Religi tentang Tujuan Pendidikan, Kurikulum, Peranan Pendidik dan Peserta Didik, dan Penciptaan Situasi Pendidikan…….……………………..22

BAB IV SIMPULAN DAN REKOMENDASI……………………………......27

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 29










BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah upaya normatif yang membawa manusia dari kondisi apa adanya kepada kondisi bagaimana seharusnya. Melalui proses pendidikan diharapkan manusia berkembang kearah bagaimana dia harus menjadi dan berada, sehingga pendidikan harus bertolak dari pemahaman tentang hakikat manusia. Pendidik harus memahami manusia dalam hal aktualisasinya, kemungkinan, dan pemikirannya, bahkan memahami perubahan yang dapat diharapkan terjadi dalam diri manusia.
Hakikat manusia yaitu lahir dengan fitrahnya dan memiliki kemerdekaan untuk berkembang, maka pendidikan harus dipandang sebagai upaya untuk mengembangkan kemerdekaan manusia yang memungkinkan manusia bereksistensi. Hakikat pendidikan tiada lain adalah humanisasi. Tujuan pendidikan adalah terwujudnya manusia ideal atau manusia yang dicita-citakan sesuai nilai-nilai dan norma-norma yang dianut.
Berdasarkan undang-undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Pasal 3) yang mengamanatkan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan pendidikan nasional tersebut menyiratkan bahwa melalui pendidikan hendak diwujudkan peserta didik yang memiliki berbagai kecerdasan, baik kecerdasan spiritual, emosional, sosial, intelektual maupun kecerdasan kinestetika. Pendidikan nasional memiliki misi mulia (mission sacre) terhadap anak didik, yaitu membangun pribadi yang memiliki ilmu pengetahuan, meningkatkan kemampuan teknis, mengembangkan kepribadian yang kokoh dan membentuk karakter yang kuat. Mengingat hal diatas, maka pendidikan tidak boleh dilaksanakan secara sembarang, melainkan harus dilaksanakan secara bijaksana. Pendidikan harus dilaksanakan secara disadari dengan mengacu kepada suatu landasan yang kokoh, sehingga jelas tujuannya, tepat isi kurikulumnya, serta efisien dan efektif cara-cara pelaksanaannya. Berdasarkan tujuan pendidikan nasional maka sangat penting bagi kita mengkaji tentang perspektif religi tentang hakikat manusia dan implikasinya terhadap dunia pendidikan.

B.        Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah pada makalah ini adalah bagaimana perspektif religi tentang hakikat manusia dan implikasinya terhadap dunia pendidikan. Secara rinci rumusan masalah pada makalah ini adalah:
1.      Bagaimana dimensi manusia dalam perspektif religi (Islam) ?
2.      Bagaimana potensi manusia dalam perspektif religi (Islam)
3.      pengembangan potensi manusia dalam perspektif religi (Islam) ?
4.      Perspektif Religi tentang Tujuan Pendidikan?
5.      Perspektif Religi tentang Kurikulum ?
6.      Perspektif Religi tentang Peranan Pendidik dan Peserta Didik ?
7.      Perspektif Religi tentang Penciptaan Situasi Pendidikan ?
C.       Tujuan Penulisan
Sesuai dengan rumusan masalah, maka terdapat tujuan pembahasan yaitu:
1.      Menjelaskan dimensi manusia dalam perspektif religi (Islam)
2.      Menjelaskan potensi manusia dalam perspektif religi (Islam)
3.      Menjelaskan pengembangan potensi manusia dalam perspektif religi (Islam)
4.      Menjelaskan Perspektif Religi tentang Tujuan Pendidikan
5.      Menjelaskan Perspektif Religi tentang Kurikulum
6.      Menjelaskan Perspektif Religi tentang Peranan Pendidik dan Peserta Didik
7.      Menjelaskan Religi tentang Penciptaan Situasi Pendidikan










BAB II
TEORI TENTANG PERSPEKTIF RELIGI TENTANG HAKIKAT PENDIDIKAN

A.       Perspektif Religi Tentang Hakikat Pendidikan
Pengertian perspektif menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu sudut pandang atau pandangan. Menurut Sumaatmadja dan Winardit 1999: perspektif merupakan cara pandang seseorang atau cara seseorang berperilaku terhadap suatu fenomena kejadian atau masalah. Sedangkan menurut Suhanadji dan Waspada TS 2004: perspektif merupakan cara pandang atau wawasan seseorang dalam menilai masalah yang terjadi di sekitarnya. Berdasarkan pengertian tersebut, maka perspektif dapat diartikan sebagai cara pandang seseorang terhadap sesuatu.
1.      Dimensi Manusia dalam Perspektif Religi (Islam)
Ada beberapa dimensi manusia dalam pandangan Islam, yaitu
a.       Manusia Sebagai Hamba Allah (Abdullah)
Sebagai hamba Allah, manusia wajib mengabdi dan taat kepada Allah selaku Pencipta karena adalah hak Allah untuk disembah dan tidak disekutukan Bentuk pengabdian manusia sebagai hamba Allah tidak terbatas hanya pada ucapan dan perbuatan saja, melainkan juga harus dengan keikhlasan hati, seperti yang diperintahkan dalam surah Bayyinah ayat 5: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus …,” (QS:98:5). Dalam surah adz- Dzariyat Allah menjelaskan: “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah Aku.” (QS51:56). Dengan demikian manusia sebagai hamba Allah akan menjadi manusia yang taat, patuh dan mampu melakoni perannya sebagai hamba yang hanya mengharapkan ridha Allah.
b.      Manusia Sebagai An- Nas
Manusia, di dalam al- Qur’an juga disebut dengan An-Nas. Konsep An- Nas ini cenderung mengacu pada status manusia dalam kaitannya dengan lingkungan masyarakat di sekitarnya. Berdasarkan fitrahnya manusia merupakan makhluk sosial. Dalam hidupnya manusia membutuhkan pasangan, dan memang diciptakan berpasang-pasangan seperti dijelaskan dalam surah An- Nisa’, “Hai sekalian manusia, bertaqwalaha kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istirinya, dan dari pada keduanya Alah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah dengan (mempergunakan) namanya kamu saling meminta satu sama lain dan peliharalah hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS:4:1).
Selanjutnya dalam surah al- Hujurat dijelaskan: “Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorng laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu disisi Allah adalah yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS: 49:13).

c.       Manusia Sebagai khalifah Allah
Hakikat manusia sebagai khalifah Allah di bumi dijelaskan dalam surah Al- Baqarah ayat 30: “Ingatlah ketika Tuhan-mu berfirman kepada para malaikat:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka
berkata:”Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji engkau dan mensucikan Engkau?” Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui.” (QS:2: 30), dan surah Shad ayat  26,“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (peguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu. Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. …” (QS:38:26).
Dari kedua ayat di atas dapat dijelaskan bahwa sebutan khalifah itu merupakan anugerah dari Allah kepada manusia, dan selanjutnya manusia diberikan beban untuk menjalankan fungsi khalifah tersebut sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Sebagai khalifah di bumi manusia mempunyai wewenang untuk memanfaatkan alam (bumi) ini untuk memenuhi Kebutuhan hidupnya sekaligus bertanggung jawab terhadap kelestarian alam ini. Seperti dijelaskan dalam surah Al- Jumu’ah, “Maka apabila telah selesai shalat, hendaklah kamu bertebaran di muka bumi ini dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.” (QS: 62: 10), selanjutnya dalam surah Al- Baqarah disebutkan: “Makan dan minumlah kamu dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu, dan janganlah kamu berbuat bencana di atas bumi.” (QS: 2 : 60).

d.      Manusia Sebagai Bani Adam
Sebutan manusia sebagai bani Adam merujuk kepada berbagai keterangan dalam Al- Qur’an yang menjelaskan bahwa manusia adalah keturunan Adam dan bukan berasal dari hasil evolusi dari makhluk lain seperti yang dikemukakan oleh Charles Darwin. Konsep bani Adam mengacu pada penghormatan kepada nilai-nilai kemanusiaan. Konsep ini menitik bertakan pembinaan hubungan persaudaraan antar sesama manusia dan menyatakan bahwa semua manusia berasal dari keturunan yang sama. Dengan demikian manusia dengan latar belakang sosia kultural, agama, bangsa dan bahasa yang berbeda tetaplah bernilai sama, dan harus diperlakukan dengan sama. Dalam surah al- A’raf dijelaskan: “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, semoga mereka selalu ingat. Hai anak Adam janganlah kamu ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, …” (QS : 7; 26-27).
e.       Manusia Sebagai al- Insan
Manusia disebut al- insan dalam al- Qur’an mengacu pada potensi yang diberikan Tuhan kepadanya. Potensi antara lain adalah kemampuan berbicara (QS:55:4), kemampuan menguasai ilmu pengetahuan melalui proses tertentu (QS:6:4-5), dan lain-lain. Namun selain memiliki potensi positif ini, manusia sebagai Al- Insan juga mempunyai kecenderungan berprilaku negatif (lupa). Misalnya dijelaskan dalam surah Hud: “Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat, kemudian rahmat itu kami cabut dari padanya, pastilah ia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih.” (QS: 11:9).
f.       Manusia Sebagai Makhluk Biologis (Al- Basyar)
Hasan Langgulung mengatakan bahwa sebagai makhluk biologis manusia terdiri atas unsur materi, sehingga memiliki bentuk fisik berupa tubuh kasar (ragawi). Dengan kata lain manusia adalah makhluk jasmaniah yang secara umum terikat kepada kaedah umum makhluk biologis seperti berkembang biak, mengalami fase pertumbuhan dan perkembangan, serta memerlukan makanan untuk hidup, dan pada akhirnya mengalami kematian. Dalam al- Qur’an surah al-
Mu’minūn dijelaskan: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari sari pati tanah. Lalu Kami jadikan saripati itu air mani yang disimpan dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu menjadi segumpal daging, dan segumpal daging itu kemudian Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk berbentuk lain, maka Maha Sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.”(QS: Al-Mu’minun: 12-14).

2.         Potensi Manusia dalam Perspektif Religi (Islam)
a.       Potensi Ruh dan Nafs
Nafs adalah potensi yang dilekatkan pada hati nurani untuk membedakan dan memilih jalan yang hak dan yang batil, jalan menuju ketaqwaan dan jalan menuju kedurhakaan. Bentuk dari roh ini sendiri pada hakikatnya tidak dapat dijelaskan. Allah swt berfirman: Katakanlah, “Ruh adalah urusan Tuhan-Ku, kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit”. (QS. Al-Isra: 85). Potensi Nafs terdapat pada surat Asy-Syams ayat 7-8 “…..dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”.
Di dalam hati setiap manusia telah tertanam potensi ini, yang dapat membedakan jalan kebaikan (kebenaran) dan jalan keburukan (kesalahan). Menurut Ibn ‘Asyur kata ‘nafs’ pada surat Asy-Syams ayat ke-7 menunjukan nakiroh maka arti kata tersebut menunjukan nama jenis, yaitu mencakup jati diri seluruh manusia seperti arti kata ‘nafs’ pada surat Al-infithar ayat 5 yaitu “maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakan dan yang dilalaikannya”
Dengan demikian, dalam potensi ruhaniyyah terdapat pertanggungjawaban atas diberinya manusia kekuatan pemikir yang mampu untuk memilih dan mengarahkan potensi-potensi fitrah yang dapat berkembang di ladang kebaikan dan ladang keburukan ini. Karena itu, jiwa manusia bebas tetapi bertanggung jawab. Ia adalah kekuatan yang dibebani tugas, dan ia adalah karunia yang dibebani kewajiban.
b.      Potensi Aqliyah
Dengan potensi ini manusia adalah makhluk yang berkemampuan untuk menyusun konsep-konsep, mencipta, mengembangkan dan mengemukakan gagasan/ide serta melaksanakannya. Potensi ini adalah bukti yang membungkamkan malaikat, yang tadinya merasa wajar untuk dijadikan khalifah di muka bumi, dan karenanya malaikat bersedia sujud (penghormatan) kepada Adam. Sesuai dengan Firman Allah “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat[7] seraya berfirman, "Sebutkanlah kepada-Ku nama (semua) benda ini jika kamu yang benar”. Q.S Al-Baqarah 31.

c.       Potensi Jasmaniyyah

Potensi Jasmaniyyah ialah kemampuan tubuh manusia yang telah Allah ciptakan dengan sempurna, baik rupa, kekuatan dan kemampuan. Sebagaimana pada firman Allah Al-Qur’an surat At-Tin ayat 4 “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. Kata insan dijumpai dalam Al-Qur’an sebanyak 65 kali. Penekanan kata insan ini adalah lebih mengacu pada peningkatan manusia ke derajat yang dapat memberinya potensi dan kemampuan untuk memangku jabatan khalifah dan meikul tanggung jawab dan amanat manusia di muka bumi, karena sebagai khalifah manusia dibekali dengan berbagai potensi seperti ilmu, persepsi, akal dan nurani. Dengan potensi-potensi ini manusia siap dan mampu menghadapi segala permasalahan sekaligus mengantisipasinya. Di samping itu, manusia juga dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk yang mulia dan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari makhluk lain dengan berbekal potensi-potensi yag ada. Dalam surah lain disebutkan At-Taghabun ayat 3 “Dia menciptakan langit dan bumi dengan hak, Dia membentuk rupamu dan membaguskan rupamu itu, dan hanya kepada-Nya-lah kembali(mu)”.
3.       Pengembangan Potensi Manusia dalam Perspektif Religi (Islam)
Keempat potensi dasar manusia seperti yang dijelaskan di atas harus dikembangkan agar bisa berfungsi secara optimal dan dapat mencapai tujuan yang
sebenarnya. Pengembangan potensi manusia ini harus dilakukan secara terarah,
bertahap dan berkelanjutan serta dapat dilakukan dengan berbagai cara dan
pendekatan. Jalaluddin mengatakan ada beberapa pendekatan yang bisa digunakan
dalam mengembangkan potensi manusia.
a.      Pendekatan Filosofis
Menurut pandangan filosofis manusia diciptakan untuk memberikan kesetiaan, mengabdi dan menyembah hanya kepada penciptanya. Dalam al- Qur’an disebutkan; “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada- Ku.” (QS: adz- Dzāriyat: 56), dengan begitu menurut filosofis Al-Qur’an manusia memang diciptakan untuk taat dan mengabdi kepada penciptanya. Sesuai dengan kakikat penciptaannya, maka keberadaan atau eksistensi manusia itu baru akan berarti, bermakna dan bernilai apabila pola hidup manusia telah sesuai dengan blue-print yang sudah ditetapkan oleh Tuhan. Pengembangan potensi manusia harus bisa mengarahkan manusia untuk menjadi abdi Tuhannya dan mengikuti nilai-nilai yang benar menurut kebenaran ilahiyah yang hakiki.
b.      Pendekatan Kronologis
Pendekatan kronologis memandang manusia sebagai makhluk evolutif. Manusia tumbuh dan berkembang secara bertahap dan berangsur. Petumbuhan fisik dan mental manusia diawali dari proses konsepsi, pada tahap selanjutnya menjadi janin, kemudian lahir menjadi bayi, anak-anak, remaja, dewasa hingga meninggal. Hal ini terjadi sesuai dengan tahapan-tahapan pertumbuhan dan perkembangan yang berlaku. Dalam al-Qur’an dijelaskan: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari sari pati tanah. Lalu Kami jadikan saripati itu air mani yang disimpan dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu menjadi segumpal daging, dan segumpal daging itu kemudian Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk berbentuk lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.” (QS: al-Mu’minūn: 12-14). Tentang perubahan manusia dari tahap selanjutnya dijelaskan: “Dia-lah
yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari
segumpal darah, kemudian dilahirkan kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu menjadi dewasa, kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang dimatikan sebelum itu. (Kami perbuat demikian) agar kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan agar kamu
mengetahui.”(QS: al- Mu’min: 67).
Dari ayat-ayat di atas jelaslah bahwa manusia itu diciptakan melalui berberta tahap yang kronologis. Setiap tahap pertumbuhan dan perkembangan ditandai dengan adanya ciri khas atau karakteristik yang berbeda pula. Kemampuan manusiapun mengalami peningkatan sesuai periode pertumbuhan dan perkembangannya. Dengan demikian maka pengembangan potensi manusia juga harus mengikuti pertumbuhan fisiknya dan perkembangan mentalnya. Artinya pengembangan potensi manusia harus diarahkan dan dibina sesuai tahapan-tahapan tumbuh kembang manusia.

c.       Pendekatan Fungsional
Potensi-potensi yang dimiliki manusia diberikan Tuhan untuk dapat dipergunakan dan difungsikan dalan kehidupan mereka. Karena tidak mungkin Tuhan menciptakan sesuatu yang tidak bermanfaat. Semua ciptaan Tuhan mempunyai maksud dan tujuan, temasuk potensi-potensi yang diberikan kepada manusia. Dalam Al-Qura surat ad-Dukhān ayat 38 dijelaskan; “Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dengan bermain-main.”
Dalam pendekatan ini pengembangan potensi manusia harus dilaksanakan
sesuai dengan manfaat dan fungsi potensi itu sendiri. Misalnya, dorongan seksual,
harus dibina dan diarahkan untuk menjaga kelestarian jenis manusia, bukan untuk
berbuat maksiat atau mencari kesenangan semata. Dorongan naluri lain lainnya seperti makan, minum dan mempertahankan diri harus diarahkan untuk kelangsungan hidup, bukan mengumbar nafsu.  
d.      Pendekatan Sosial
Dalam pendekatan ini manusia dipandang sebagai makhluk sosial. Manusia dianggap sebagai makhluk yang cenderung untuk hidup bersama dalam kelompok kecil (keluarga) maupun besar (masyarakat). Seperti dalam Surah At- Taubah ayat 71 disebutkan “Dan orang-orang mukmin laki-laki dan orang-orang mukmin perempuan, sebagian mereka menjadi para penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh yang ma’ruf, mencegah yang munkar, dan melaksanakan shalat secara berkesinambungan, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan dirahmati Allah. Sesungguhnya, Allah Maha Perkasa, lagi Maha Bijaksana {71}.Sebagai makhluk sosial manusia harus mampu mengembangkan potensinya untuk bisa berinteraksi di dalam lingkungannya dan mampu memainkan peran dan fungsinya di tengah lingkungannya. Dalam upaya mengembangkan potensi-potensinya manusia membutuhkan dukungan dan bantuan dari pihak lain di luar dirinya untuk membimbing, mengarahkan, dan menuntunnya agar pengembangan potensi tersebut berhasil secara maksimal. Upaya pengembangan potensi ini dilihat dari sudut pandang manapun akan merujuk kepada pendidikan. Tugas pendidikan dalam pengembangan potensi manusia, adalah dalam upaya menjaga dan mengerahkan fitrah atau potensi tersebut menuju kebaikan dan kesempurnaan. Pengembangan berbagai potensi manusia (fitrah) ini dapat dilakukan dengan kegiatan belajar, yaitu melalui institusi-institusi. Belajar yang dimaksud tidak harus melalui pendidikan di sekolah saja, tetapi juga dapat dilakukan di luar sekolah, baik dalam keluarga maupun masyarakat ataupun melalui institusi sosial yang ada. Kesimpulannnya adalah manusia bisa mengembangkan seluruh potensinya melalui pendidikan, baik itu pendidikan formal, informal maupun pendidikan nonformal.

B.        Perspektif Religi Terhadap Tujuan Pendidikan, Kurikulum, Peranan Pendidik dan Peserta Didik, serta Penciptaan Situasi Pendidikan

Manusia ialah makhluk Allah yang dilahirkan membawa potensi dapat dididik dan dapat mendidik, sehingga mampu menjadi kholifah di bumi, pendukung dan pengembang kebudayaan.Ia dilengkapi dengan fitrah Allah berupa bentuk yang dapat berkembang, sesuai dengan kedudukannya sebagai mahluk yang mulia, pikiran, perasaan dan kemampuannya berbuat merupakan komponen dari fitrah itu. Fitrah inilah yang membedakan manusia dengan mahluk yang lain dan membuat manusia itu istimewa dan lebih mulia daripada makhluk yang lain..
Harapan tercapainya sebuah keberhasilan dalam suatu aktifitas pendidikan Islam dalam mencapai tujuan yang dirumuskan, banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: faktor tujuan, faktor pendidik, faktor anak didik, faktor alat dan metode, dan faktor lingkungan. Di antara kelima faktor tersebut tidak bisa lepas satu sama lain, di dalam prosesnya saling berkaitan erat sehingga membentuk satu sistem yang saling mempengaruhi. Pendidikan merupakan amanah yang harus dikenalkan oleh suatu generasi ke generasi berikutnya, terutama dari orang tua atau pendidik kepada anak-anak dan murid-muridnya.
Sebagai aktivitas yang bergerak dalam proses pembinaan kepribadian muslim, maka pendidikan Islam memerlukan asas atau dasar yang dijadikan landasan kerja. Dengan dasar ini akan memberikan arah bagi pelaksanaan pendidikan yang telah diprogramkan. Dalam kontek ini, dasar yang menjadi acuan pendidikan Islam hendaknya merupakan sumber nilai kebenaran dan kekuatan yang dapat menghantarkan peserta didik ke arah pencapaian pendidikan. Oleh karena itu, dasar yang terpenting dari pendidikan Islam adalah Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah (hadits).
Dalam pendidikan Islam, sunnah Rasul mempunyai dua fungsi, yaitu: Menjelaskan sistem pendidikan Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an dan menjelaskan hal-hal yang tidak terdapat di dalamnya. Menyimpulkan metode pendidikan dari kehidupan Rasulullah bersama sahabat, perlakuannya terhadap anak-anak, dan pendidikan keimanan yang pernah dilakukannya. Dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam, paling tidak ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
1.      Tujuan dan tugas manusia di muka bumi. baik secara vertikal maupunhorizontal. Sifat-sifat manusia tututan masyarakat dan dinamika peradaban
2.      Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam
Adapun tujuan pendidikan Islam adalah mengembangkan fitrah peserta didik, baik ruh, fisik, kemauan, dan akalnya secara dinamis, sehingga akan terbentuk pribadi yang utuh dan mendukung bagi pelaksanaan fungsinya sebagai khalifah fi al-ardh. Pendekatan tujuan ini merupakan memiliki makna, bahwa upaya pendidikan Islam adalah pembinaan pribadi muslim sejati yang mengabdi dan merealisasikan” kehendak tuhan sesuai dengan syariat Islam serta mengisi tugas kehidupannya di dunia dan menjadikan kehidupan akhirat sebagai tujuan utama pendidikannya.
Tujuan pendidikan Islam adalah mendekatkan diri kita kepada Allah dan pendidikan islam lebih mengutamakan akhlak, untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan kepribadian manusia (peserta didik) secara menyeluruh dan seimbang yang dilakukan melalui latihan jiwa, akal pikiran (intelektual), diri manusia yang rasional ; perasaan dan indera. Karena itu, pendidikan hendaknya mencakup pengembangan seluruh aspek fitrah peserta didik ; aspek spiritual, intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah, dan bahasa, baik secara individual maupun kolektif ; dan mendorong semua aspek tersebut berkembang kearah kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah, baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia.
Tujuan pendidikan islam secara lebih luas yaitu untuk:
a. Pembinaan akhlak
b. Penguasaan ilmu
c. Keterampilan bekerja dalam masyarakat
d. Mengembangkan akal dan akhlak
e. Pengajaran Kebudayaan
f. Pembentukan kepribadian
g. Menghambakan diri kepada Allah
h. Menyiapkan anak didik untuk hidup di dunia dan akhirat
Adapun dalam proses kependidikan tujuan akhir merupakan tujuan yang tertinggi yang akan dicapai pendidikan Islam, tujuan terakhirnya merupakan kristalisasi nilai-nilai idealitas Islam yang diwujudkan dalam pribadi anak didik. Maka tujuan akhir itu harus meliputi semua aspek pola kepribadian yang ideal.Dalam konsep agama Islam pendidikan itu berlangsung sepanjang kehidupan manusia, dengan demikian tujuan akhir pendidikan Islam pada dasarnya sejajar dengan tujuan hidup manusia dan peranannya sabagai makhluk ciptaan Allah dan sebagi kholifah di bumi. Sebagaimana diungkapkan Hasan Langgulung bahwa “segala usaha untuk menjadikan manusia menjadi ‘abid inilah tujuan tertinggi pendidikan dalam Islam. Sebagaimana firman Allah SWT :Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”.(Q.S.Adz-Dzariyat :56)
Pendidikan sebagai suatu kegiatan mulia dalam islam selalu mengandung nilai-nilai kebaikan dan kebijakan bagi kemanusiaan, karena memang aktivitasnya selalu hendak menjadikan manusia sebagai makhluk yang bernilai moral, baik dalam fungsi sebagai mu’abbid, khalifah fi al-ardh maupun immarah fi al-ardh. Dalam konteks pendidikan islam, nilai-nilai moral keagamaan menjadi bagian yang integral dalam setiap gerak usaha kependidikan yang secara struktural-formal tidak hanya tercantum dalam tujuan institusional pendidikan saja, tetapi hendaknya juga terjalin erat dalam setiap denyut nadi aktivitasnya.
Moral atau akhlak adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok untuk mengatur tingkah lakunya. Moral berkenaan dengan kegiatan-kegiatan yang dipandang baik atau buruk, benar/salah, tepat/ tidak tepat atau menyangkut cara seseorang bertingkah laku dalam hubungan dengan orang lain.
Membicarakan tujuan pendidikan umum memang penting, tujuan umum itu menjadi arah pendidikan islam untuk keperluan pelaksanaan pendidikan, tujuan itu harus dirinci menjadi tujuan yang khusus, bahkan sampai ketujuan operasional, usaha merinci tujuan umum itu sudah pernah dilakukan oleh para ahli pendidikan islam Al-syabani, misalnya, menjabarkan tujuan islam menjadi:
1.      Tujuan yang berkaitan dengan individu, mencakup perubahan yang berupa pengetahuan, tingkah lakum jasmani dan rohani dan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki untuk hidup didunia dan di akhirat
2.      Tujuan yang berkaiatan dengan masyarakat mencakup tingkah laku masyarakat, individu dalam masyarakat, perubahan kehidupan masyarakat dan memperkaya pengalaman masyarakat.
3.      Tujuan professional yang berkaitan dengan pendidikan sebagai ilmu, seni profesi dan kegiatan masyarakat.
Al- Abrasyi merinci tujuan akhir pendidikan dalam aspek islam:
a.       Menghambakan diri kepada Allah Swt
b.      pembinaan akhlak
c.       menyiapkan anak didik untuk hidup didunia dan akhirat
d.      penguasaan ilmu
e.       memperkuat ikatan keislaman dalam melayani kepentingan masyarakat islam
f.       keterampilan bekerja dalam masyarakat
aspek aspek pembinaan dalam pendidikan islam menurut adalah Al- Abrasyi sebagai berikut:
a.    aspek jasmani
b.   aspek akal
c.    aspek akidah
d.   aspek akhlak
e.    aspek kejiwaan
f.    aspek keindahan
g.   aspek kebudayaan
Menurut Al-Ghazzali bahwa setiap pendidikan harus berakhir dengan pencapaian tujuan sebagai berikut:
1. Insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
2. Insan purna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Kebahagiaan dunia akhirat dalam pandangan Al-Ghazzali merupakan kebahagian dalam proporsi yang sebenarnya, kebahagiaan yang lebih mempunyai nilai universal, abadi, dan lebih hakiki itulah yang diprioritaskan, sehingga pada akhirnya tujuan ini akan menyatu dengan tujuan yang pertama. Jika pendidikan dapat dipandang sebagai aplikasi pemikiran filsafi dan seorang filosuf bergerak selaras dan sejalan dengan pemikirannya, sistem pendidikan AL-Ghazali pun sejalan dengan dasar pemikiran filsafinya yang mengarah kepada tujuan yang jelas. Dengan demikian, sistem pendidikan haruslah mempunyai filsafat yang mengarah pada tujuan tertentu.
Menurut Al-Ghazali, pendidikan dalam prosesnya haruslah mengarah kepada mendekatkan diri kepada Allah dan kesempurnaan insani, mengarahkan manusia untuk mengarahkajn tujuan hidupnya yaitu bahagia dunia dan akhirat.
Al-Ghazali berkata:
“ Hasil dari ilmu ialah mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam, dan menghubungkan diri dengan para malaikat yang tinggi dan bergaul dengan alam arwah, itu semua adalah kebenarn, pengaruh, pemerintaha bagi raja-raja dan penghormatan secara naluri.”
Menurut Al-Ghazali, pendekatan kepada Allah merupakan tujuan pendidikan. Orang dapat mendekatkan diri kepada Allah hanya setelah memperoleh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan itu sendiri tidak akan dapat diperoleh manusia kecuali melalui pengajaran.Selanjutnya dari kata-kata tersebut dapat dipahami bahwa menutut Al-Ghazali tujuan pendidikan dapat dibagi menjadi dua, yaitu tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek.
a.    Tujuan Jangka Panjang
Tujuan jangka panjang ialah pendekatan diri kepada Allah.Pendidikan dalam prosesnya harus mengarahkan manusia menuju pengenalan dan kemudian pendekatan diri kepada tuhan pencipta alam.
b.      Tujuan Jangka Pendek
Menurut Al-Ghazali, tujuan pendidikan jangka pendek ialah diraihnya profesi manusia sesuai dengan bakat dan kemampuan. Syarat untuk mencapai tujuan itu, manusia harus mengembangkan ilmu pengetahuan baik yang termasuk fardhu ain maupun fardu kifayah.

1.      Perspektif Religi tentang Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan dalam perspektif islam adalah suatu perubahan yang diinginkan dan diusahakan oleh proses pendidikan atau usaha pendidikan untuk mencapainya, baik dari segi tingkah laku individu dan pada kehidupan pribadinya atau pada kehidupan masyarakat dan pada alam sekitar tentang kehidupan individu, atau pada proses kehidupan itu sendiri dan proses pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai proporsi di antara prosesi-prosesi dalam masyarakat.
Tujuan utama pendidikan dalam Islam adalah mencari ridha Allah swt. Dengan pendidikan, diharapkan akan lahir individu-indidivu yang baik, bermoral, berkualitas, sehingga bermanfaat kepada dirinya, keluarganya, masyarakatnya, negaranya dan ummat manusia secara keseluruhan. Disebabkan manusia merupakan fokus utama pendidikan, maka seyogianyalah institusi-institusi  pendidikan memfokuskan kepada substansi kemanusiaan, membuat sistem yang mendukung kepada terbentuknya manusia yang baik, yang menjadi tujuan utama dalam pendidikan. Dalam pandangan Islam, manusia bukan saja terdiri dari komponen fisik dan materi, namun terdiri juga dari spiritual dan jiwa. Oleh sebab itu, sebuah institusi pendidikan bukan saja memproduksi anak didik yang akan memiliki kemakmuran materi, namun juga yang lebih penting adalah melahirkan individu-individu yang memiliki diri yang baik sehingga mereka akan menjadi manusia yang serta bermanfaat bagi ummat dan mereka mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Institusi pendidikan perlu mengarahkan anak didik supaya mendisiplinkan akal dan jiwanya, memiliki akal yang pintar dan sifat-sifat dan jiwa yang baik, melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik dan benar, memiliki pengetahuan yang luas, yang akan menjaganya dari kesalahan-kesalahan, serta memiliki hikmah dan keadilan. 

2.      Perspektif Religi tentang Kurikulum
            Dengan melihat ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam di atas, kurikulum pendidikan Islam disusun dengan mengikuti tujuh prinsip sebagai berikut :
a)      Prinsip pertautan dengan Agama, artinya bahwa semua elemen kurikulum baik aspek tujuan, materi, alat dan metode dalam pendidikan Islam selalu menyandarkan pada dasar-dasar ajaran Islam yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
b)      Prinsip Universal, universal disini dimaksudkan bahwa tujuan dan cakupan kurikulum pendidikan Islam harus mencakup semua aspek yang mendatangkan manfaat, baik bagi peserta didik, baik yang bersifat jasmaniyah maupun rohaniyah. Cakupan isi kurikulum menyentuh akal dan qalbu peserta didik. Pendidikan yang dikembangkan sebisanya dikembangkan bukan pendidikan sekuler, melainkan sebaliknya yaitu pendidikan rasional yang mempunyai arti mengajarkan materi-metari yang bermanfaat bagi kehidupan akhirat dan dunia bagi peserta didik. Dengan demikian dalam pendidikan Islam tidak ada dikotomi antara ilmu umum dan ilmu Agama.
c)      Prinsip Keseimbangan antara tujuan yang ingin dicapai suatu lembaga pendidikan dengan cakupan materi yang akan diberikan kepada peserta didik. Keseimbangan ini meliputi materi yang bersifat religi-akhirat dan profane-keduniaan dengan mencegah orientasi sepihak saja. Hakikat dari prinsip keseimbangan ini , didasarkan pada firman Allah Swt dalam surat al-Qashas ayat 77.
 “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri kalian, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sessungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Ayat tersebut adalah perintah yang bersifat wajib, artinya umat Islam wajib melaksanakan keseimbangan hidup antara keduniaan dan keakhiratan, kesimbangan cara berfikir bersifat rasional dan hati nurani. Apabila kita kaitkan dengan penyusunan kurikulum maka pedoman kurikulum mencerminkan keseimbangan tujuan pembelajaran dan materi-materi yang diarahkan pada pencapaian keseimbangan tujuan duniawi dan tujuan ukhrowi.
d)     Prinsip Keterkaitan dengan bakat, minat, kemampuan dan kebutuhan pelajar, dengan lingkungan sekitar baik fisik maupun social. Dengan prinsip ini kurikulum pendidikan Islam berkeinginan menjaga keaslian peserta didik yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. 
e)      Prinsip fleksibelitas, maksudnya kurikulum pendidikan Islam dirancang dan dikembangkan berdasakan prinsip dinamis dan up to date terhadap pekembangan dan kebutuhan masyarakat, bangsa dan negara. Anak didik yang berkarakter menjadi dambaan bukan hanya sebagai orang tua tetapi juga menadi kebutuhan bangsa dan Negara mengingat anak merupakan generasi penerus bangsa yang akan mengemban amanat kepemimpinan di masa yang akan datang.
f)       Prinsip memperhatikan perbedaan individu, peserta didik merupakan pribadi yang unik dengan keadaan latar belakang sosial ekonomi dan psikologis yang beraneka macam, maka penyusunan kurikulum pendidikan Islam haruslah memperhatikan keberAgamaan latar belakang tersebut demi tercapainya tujuan pendidikan itu sendiri.
g)      Prinsip pertautan antara mata pelajaran dengan aktifitas fisik yang tercakup dalam kurikulum pendidikan Islam. Petautan ini menjadi urgen dalam rangka memaksimalkan peran kurikulum sebagai sebuah program dengan tujuan tercapainya manusia yang berakhlak.
            Dari prinsip-prinsip yang telah disebutkan di atas, al-Syaibani mengatakan bahwa kurikulum pendidikan Islam merupakan kurikulum yang diilhami oleh nilai dan ajaran Agama Islam, yang selalu berkomitmen memperhatikan aktifitas manusia modern. Meskipun dikatakan bahwa kurikulum pendidikan Islam bersifat fleksibel dengan mengikuti dinamika perubahan zaman, namun tetap dengan memegang teguh identitas keIslamannya. Lebih lanjut, al-Syaibani memberikan pemahaman tentang kurikulum pendidikan   Islam berdasarkan prinsip-prinsip menitik beratkan kepada 6 hal, yaitu :
1)      Materi yang bersifat keAgamaan diberikan kepada peserta didik dengan maksud terbentuknya jiwa peserta didik yang sempurna dan utama.
2)      Materi keAgamaan mendapatkan prosi yang lebih dibandingkan ilmu yang lain karena materi ini merupakan sendi pembentukan moral yang luhur
3)      Selain memberikan materi yang bersifat keAgamaan, kurikulum pendidikan Islam juga menaruh perhatian terhadap materi yang bersifat keduniaan, dengan tujuan memberikan pengalaman untuk bergaul dengan sesame manusia.
4)      Ilmu pengetahuan yang yang dipelajari dalam Islam memperhatikan prinsip ilmu untuk ilmu, yang karenannya mempelajari pengetahuan dalam pandangan para pemikir Islam merupakan suatu kenikmatan.
5)      Pendidikan kejuruan, teknik dan perindutrian diperhatikan dalam pendidikan Islam sebagai alat pencari penghidupan.
6)     Suatu materi adalah alat dan pembuka untuk mempelajari ilmu-ilmu lain.

3.      Perspektif Religi tentang Peranan Pendidik dan Peserta Didik

Menurut Ahmad D. Marimba tugas pendidik dalam pendidikan  Islam adalah membimbing dan mengenal kebutuhan atau kesanggupan peserta didik, mencipytakan situasi yang kondusif bagi berlangsungnya proses kependidikan, menambah dan mengembangkan pengetahuan yang dimiliki guna ditransformasikan kepada peserta didik, serta senantiasa membuka diri terhadap seluruh kelemahan dan kekurangannya.
Imam Ghazali mengemukakan bahwa tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersikan, mensucikan, serta membawa hati manusia untuk taqarrub ila Allah. Para pendidik hendaknya mengarahkan para peserta didik untuk mengenal Allah lebih dekat lagi melalui seluruh ciptaan-Nya. Para pendidikan dituntut untuk dapat mensucikan jiwa pesertaa didiknya. Hanya melalui jiwa-jiwa yang suci manusia akan dapat dengan Khaliq-Nya. Berdasarkan konsep tersebut, An-Nahlawi menyimpulkan bahwa selain bertugas mengalihkan berbagai pengeetahuan dan keterampilan kepada peserta didik, tugas utama yang harus dilakukan pendidik adalah tazkiyat an-nafs yaitu mengembangkan, membersikan, mengangkat jiwa peserta didik kepada Khaliq-Nya, menjauhkannya dari kejahatan dan menjaganya agar tetap kepada fitrah-Nya.
Syekh Al-Jarnuzi dalam kitab “Ta’lim al-Muta’allim” menerangkan sifat dan tugas dalam menuntut ilmu yaitu :
1.      Tawadlu’, iffah, sabar, cinta ilmu, hormat kepada guru, dan sesama penuntut ilmu.
2.      Tekun belajar.
3.      Wara’ (menahan diri dari perbuatan yang terlarang).
4.      Punya cita-cita yang tinggi.
5.      Tawakal.

4.      Perspektif Religi tentang Penciptaan Situasi Pendidikan
Prinsip dalam sebuah model pembelajaran memiliki posisi penting sebab dengan adanya prinsip sebuah model pembelajaran dapat berjalan sesuai dengan gaya dan aturan yang telah ditentukan. Dengan kata lain prinsip berfungsi sebagai jalan untuk melapangkan sebuah proses pembelajaran. Dan prinsip ini adalah prinsip dasar yang dapat dikembangkan sesuai dengan situasi dan lingkungan. Al-Qur’an dari berbagai ayat yang tersebar, dapat ditemukan prinsip-prinsip yang mendasari pengembangan teori ini dari model pembelajaran Qur’ani, yaitu : yang pertama, kasih sayang. Esensi al-Qur’an tentang pendidikan seluruhnya diwarnai oleh prinsip kasih sayang.
Kedua, kegembiraan, semua proses pembelajaran harus dibarengi dengan suasana gembira yang tetap pada batas kebenaran, bukankah al-Qur’an telah menjelaskan bahwa Rasulullah saw diutus  untuk membawa kabar gembira dan peringatan. Qs al-Baqarah 119..
Ketiga, keterbukaan, prinsip keterbukaan lahir dari pandangan bahwa kualitas manusia terletak pada konteks hubungan dengan manusia lain dalam bentuk dialogis antara pendidik dengan terdidik. Keterbukaan yang ditampilkan dalam suasana pendidikan tersebut menjadi prinsip dasar keseluruhan konsep pendidikan Qur’ani.
Keempat, keseimbangan, pada dasarnya keseimbangan merupakan prinsip yang diletakkan Allah swt pada seluruh ciptaan-Nya. Dalam pendidikan Qur’ani, konsep ini ditujukan kepada kodrat dasar manusia sebagai makhluk Allah yang memiliki dimensi fisik dan ruhani dan kualitasnya sangat ditentukan oleh adanya keseimbangan. Keseimbangan yang dimaksud adalah keselarasan. seperti konsep shalat, amar ma’ruf, nahi munkar dan sabar. Qs lukman : 16.
Kelima, keterpaduan lingkungan atau integralitas adalah gagasan yang menjadi prinsip pendidikan Qur’ani yang merupakan implikasi dan keutuhan pandangan al-Qur’an terhadap manusia.





























BAB III
PEMBAHASAN

A.       Analisis Perspektif Religi Tentang Hakikat Manusia.

Kajian tentang hakikat manusia berdasarkan perspektif religi agama Islam sangat lengkap dan terperinci. Mulai dari siapa manusia, tujuan penciptaan manusia,   bagaimana manusia diciptakan, perkembangan manusia semua telah diatur oleh Allah SWT  dengan sebaik-baiknya ketentuan. Allah SWT sangat memuliakan manusia dibanding makhluk ciptaanya yang lain. Oleh sebab itu sebagai makhluk yang dimuliakan sudah seharusnya pula kita harus memuliakan Allah, menjadi hamba Allah yang seutuhnya. Terlebih atas nikmat dan karunia yang tak henti-hentinya telah diberikan Allah pada manusia, mulai dari dalam kandungan hingga saat ini. Secara garis besar Allah telah menciptakan manusia dengan segala potensi yang dimilikinya baik secara ruh dan nafs, aqliyah, jasmaniah. Namun dari itu semua sesungguhnya masih banyak pula nikmat potensi dari dalam diri manusia yang tak akan bisa di sebutkan oleh manusia siapapun.
Dalam penerapan dilapangan pendidikan religi tidak hanya dibutuhkan oleh sekolah-sekolah yang berlatar belakang pendidikan Islam. Nilai – nilai religi juga harus diterapkan di sekolah – sekolah umum. Hal ini dikarenakan nilai – nilai religi mengajarkan tentang kebaikan, tata krama, sopan santun, dan cara berinteraksi dengan sesama dengan baik sehingga tidak hanya siswa di sekolah – sekolah berbasis agama yang perlu dibina aspek sikap spiritual dan sosialnya tetapi juga siswa di sekolah – sekolah umum.
 Sejatinya pendidikan adalah wadah menyiapkan generasi bangsa sebelum menuju pada kehidupan bermasyarakat yang akan di hadapi setiap manusia.Di dalam Pancasila yang merupakan landasan bangsa Indonesia menyebutkan dan meletakkan nilai-nilai religi dalam sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Artinya sebagai bangsa Indonesia maka keharusan bagi kita untuk taat pada aturan-aturan Tuhan dari masing-masing masyarakatnya. Tujuannaya adalah dalam hidup bermasyarakat masyarakat Indonesia menempatkan nilai-nilai religi sebagai landasan bermasyarakat yang baik. 
Menurut perspektif religi Islam pendidikan akan bermutu apabila mampu menyeimbangkan antara nilai-nilai Islami dan nilai-nilai keilmuan. Namun fakta dilapangan ditemukan bahwa banyak Negara-negara yang notabene adalah non-muslim bahkan atheis memiliki tingkat pendidikan yang terbaik didunia bahkan menajdi Negara adidaya. Menanggapi fenomena ini, apa yang telah disampaiakan tentang perspektif religi Islam, bahwa pendidikan akan bermutu apabila mampu menyeimbangkan antara nilai-nilai Islami dan nilai-nilai keilmuan bukanlah hal yang salah. Islam juga pernah menguasaia peradaban dunia dibuktikan dengan penaklukan Spanyol, Afrika Utara yang sempat dijadikan sebagai salah satu provinsi dari Dinasti Bani Umayah. Dari Spanyol Islam itulah Eropa banyak menimba ilmu pengetahuan. Ketika Islam mencapai masa keemasannya, kota Cordoba dan Granada di Spanyol merupakan pusat-pusat peradaban Islam yang sangat penting saat itu dan dianggap menyaingi Baghdad di Timur. Ketika itu, orang-orang Eropa Kristen, Katolik maupun Yahudi dari berbagai wilayah dan negara banyak belajar di perguruan-perguruan tinggi Islam di sana. Islam menjadi “guru” bagi orang Eropa. Di sini pula mereka dapat hidup dengan aman penuh dengan kedamaian dan toleransi yang tinggi, kebebasan untuk berimajinasi dan adanya ruang yang luas untuk mengekspresikan jiwa-jiwa seni dan sastra.
 Islam sendiri juga memiliki ilmuan-ilmuan yang hebat dan juga  pernah menguasai peradaban dunia. Sebagai contoh ilmuan Islam yang terkenal adalah Al Farabi. Beliau adalah Filusuf Islam, karyanya yang paling terkenal adalah mencapai kebahagiaan melalui kehidupan berpolitik. Al-Batani, seorang astronomi dan matematikawan Arab. karyanya yang paling terkenal adalah penentuan tahun matahari sebagai 365 hari 5 jam 46 menit dan 24 detik. Al-Batani juga menemukan persamaan trigonometri dan memecahkan persamaan sin x = a cos x  dan menemukan gagasan tentang tangen (tan). Ibnu Sina seorang filusuf, ilmuan dan dokter kelahiran, karyanya yang paling terkenal adalah Qanun Fi Thlib yang dijadikan rujukan di bidang kedokteran selama berabad-abad. Al-Khawarizmi ahli matematika, astronomi, astrologi, dan geografi. Ilmuan-ilmuan diatas  hanyalah sebagain dari sekian banyak ilmuan-ilmuan dari umat Islam. Sehingga tidak bisa disangkal bahwa dengan menyeimbangkan antara nilai-nilai Islami dan nilai-nilai keilmuan akan mengantarkan pendidikan kearah yang lebih.
Perspektif Islam memandang kesuksesan suatu pendidikan terlihat dari keseimbangan antara aktualisai nilai-nilai Islami dan nilai-nilai keilmuan dalam pendidikan. Islam memandang keimanan seorang muslim adalah yang paling diutamakan, sebagaimana firman Allah SWT :Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”.(Q.S.Adz-Dzariyat :56). Pentingnya  keimanan seorang muslim sering dianalogikan sebagai berikut, Muslim yang memiliki iman akan memiliki nilai 1, jika ia memiliki kecerdasan bernilai 0, jika ia memiliki skill ia bernilai 0, dan seterusnya. Dari contoh tersebut dapat dinilai muslim tersebut bernilai 100. Namun dari jika seorang manusia tidak memiliki point pertama yaitu iman yang bernilai 1, maka nilai manusia tersebut adalah 00.
Pada hakikatnya ilmu yang didapat merupakan bekal untuk beribadah, semakin banyak ilmu yang didapat maka akan semakin menambah keimanan kita pada Allah. Ilmu-ilmu yang kita pelajari pada umumnya adalah ilmu yang membahas tentang karunia Allah dari segi penciptaan ataupun tata cara  berkehidupan yang benar. Negara – negara yang penduduknya tidak mengintegrasikan  pendidikan religi (atheis) dan tidak mengintegrasikan nilai – nilai religi dalam pendidikan memang bisa memiliki pendidikan yang bagus dan maju. Namun kemajuan pendidikannya tersebut hanya dari aspek pengetahuan dan keterampilan. Hal ini dikarenakan mereka hanya memperhatikan aspek pengetahuan dan keterampilan saja. Sementara itu dalam bidang sikap spiritual dan sosial masih belum dapat dikatakan baik. Justru negara – negara yang mengintegrasikan nilai – nilai religi memiliki hasil pendidikan dalam aspek sikap yang lebih baik. Hal ini dikarenakan nilai – nilai religi dan tata krama ditanamkan dan dikembangkan kepada anak di sekolah sehingga mereka tidak hanya pandai akan pengetahuan dan keterampilan tetapi juga memiliki akhlak yang baik.
B.        Kajian Perspektif Religi Terhadap Tujuan Pendidikan, Kurikulum, Peranan Pendidik dan Peserta Didik, serta Penciptaan Situasi Pendidikan

Pendidikan adalah proses yang bertumpu pada tujuan. Pendidikan yang dimaksud adalah usaha untuk melestarikan dan mengalihkan serta mentransformasikan nilai-nilai kebudayaan dalam segala aspek dan jenisnya kepada generasi penerus. Pendidikan menurut perspektif Islam itu tidak hanya memperhatikan satu aspek saja, tetapi segala aspek yang ada, meliputi aspek jasmani, rohani dan aspek akal pikiran serta aspek akhlaq. Oleh karena itu setiap proses pendidikan yang akan dilaksanakan harus memperhatikan beberapa hal

Tujuan pendidikan Islam adalah mendekatkan diri kita kepada Allah dan pendidikan islam lebih mengutamakan akhlak, untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan kepribadian manusia (peserta didik) secara menyeluruh dan seimbang yang dilakukan melalui latihan jiwa, akal pikiran (intelektual), diri manusia yang rasional ; perasaan dan indera. Karena itu, pendidikan hendaknya mencakup pengembangan seluruh aspek fitrah peserta didik ; aspek spiritual, intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah, dan bahasa, baik secara individual maupun kolektif ; dan mendorong semua aspek tersebut berkembang kearah kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah, baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia.

a.      Perspektif Religi tentang Tujuan Pendidikan
Tujuan utama pendidikan dalam perspektif Islam adalah mencari ridha Allah swt. Dengan pendidikan, diharapkan akan lahir individu-indidivu yang baik, bermoral, berkualitas, sehingga bermanfaat kepada dirinya, keluarganya, masyarakatnya, negaranya dan ummat manusia secara keseluruhan. Disebabkan manusia merupakan fokus utama pendidikan, maka seyogianyalah institusi-institusi  pendidikan memfokuskan kepada substansi kemanusiaan, membuat sistem yang mendukung kepada terbentuknya manusia yang baik, yang menjadi tujuan utama dalam pendidikan.
b.         Perspektif Religi tentang Kurikulum
            Kurikulum pendidikan Islam disusun dengan mengikuti tujuh prinsip yaitu,  Prinsip pertautan dengan Agama, Prinsip Universal, Prinsip Keseimbangan, Prinsip Keterkaitan dengan bakat, minat, kemampuan dan kebutuhan pelajar, Prinsip fleksibelitas,  Prinsip memperhatikan perbedaan individu, dan Prinsip pertautan antara mata pelajaran dengan aktifitas fisik yang tercakup dalam kurikulum pendidikan Islam.
            Dari prinsip-prinsip tersebut dapat disimpulkan bahwa kurikulum pendidikan Islam merupakan kurikulum yang diilhami oleh nilai dan ajaran Agama Islam, yang selalu berkomitmen memperhatikan aktifitas manusia modern. Meskipun dikatakan bahwa kurikulum pendidikan Islam bersifat fleksibel dengan mengikuti dinamika perubahan zaman, namun tetap dengan memegang teguh identitas keIslamannya.

c.       Perspektif Religi tentang Peranan Pendidik dan Peserta Didik
Para pendidik dalam pembelajaran hendaknya mengarahkan para peserta didik untuk mengenal Allah lebih dekat lagi melalui seluruh ciptaan-Nya. Para pendidikan dituntut untuk dapat mensucikan jiwa pesertaa didiknya. Hanya melalui jiwa-jiwa yang suci manusia akan dapat dengan Khaliq-Nya. Berdasarkan konsep tersebut, An-Nahlawi menyimpulkan bahwa selain bertugas mengalihkan berbagai pengeetahuan dan keterampilan kepada peserta didik, tugas utama yang harus dilakukan pendidik adalah tazkiyat an-nafs yaitu mengembangkan, membersikan, mengangkat jiwa peserta didik kepada Khaliq-Nya, menjauhkannya dari kejahatan dan menjaganya agar tetap kepada fitrah-Nya.
d.      Perspektif Religi tentang Penciptaan Situasi Pendidikan
Prinsip dalam sebuah model pembelajaran memiliki posisi penting sebab dengan adanya prinsip sebuah model pembelajaran dapat berjalan sesuai dengan gaya dan aturan yang telah ditentukan. Dalam Islam prinsip yang harus ditekankan dalam pembelajaran yaitu
1). Kasih sayang
Pendidikan adalah implementasi dari kasih sayang yang secara fitrah dimiliki oleh setiap individu. Dalam konteks pendidikan kasih sayang ini menjadi dasar yang kokoh bagi komunikasi pendidikan yang terjadi pada pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Allah swt lebih jauh lagi menjelaskan bagaimana pengajaran yang baik melalui kasih sayang sebagaimana pengajaran, nasihat dan wejangan nabi Musa as dan Harun as kepada Fir’aun.
2). Kegembiraan
Prinsip kegembiraan adalah salah satu inti dari sebuah penyampaian atau pengajaran (pembelajaran) dengan adanya ilmu pengetahuan yang disampaikan kepada anak didik adalah suatu berita gembira yang harus dirayakan dalam bentuk ketekunan belajar dan mengamalkannya. Berdasarkan surah Al-Baqarah ayat 119 dijelaskan bahwa apa-apa yang dibawa oleh Rasulullah adalah suatu kebenaran, bersifat tetap dan tegas yaitu akidah, syari’ah, dan mu’amalah semuanya dapat memberikan kebahagiaan bagi siapa saja yang mengambilnya sebagai petunjuk dan peringatan. Kegembiraan dalam belajar akan menghasilkan keriangan sehingga pembelajaran dapat berjalan dengan mudah.


3). Keterbukaan
Prinsip keterbukaan lahir dari pandangan bahwa kualitas manusia terletak pada konteks hubungan dengan manusia lain dalam bentuk dialogis antara pendidik dengan terdidik. Keterbukaan yang ditampilkan dalam suasana pendidikan tersebut menjadi prinsip dasar keseluruhan konsep pendidikan Qur’ani.
4). Keseimbangan.
Konsep ini ditujukan kepada kodrat dasar manusia sebagai makhluk Allah yang memiliki dimensi fisik dan ruhani dan kualitasnya sangat ditentukan oleh adanya keseimbangan. Berdasarkan penjelasan surah Qs lukman : 16 bentuk keseimbangan antara peran individu dan social, yaitu hubungan individu dengan Allah, hubungan dengan sesama manusia serta hubungan individu dengan dirinya sendiri ini mengisyaratkan bentuk keseimbangan antara peran individu dan social, yaitu hubungan individu dengan Allah, hubungan dengan sesama manusia serta hubungan individu dengan dirinya sendiri
5). Keterpaduan lingkungan
Dalam prinsip ini terdidik dipandang sebagai manusia dengan segala atribut yang dimilikinya, yang terpadu secara utuh, karena itu, dalam tindakan praktis pendidikan, upaya-upaya yang dilakukan pendidik senantiasa didasarkan pada keterpaduan dan integralitas.
Konsep kegembiraan dan keseimbangan dalam pendidikan dari perspektif Islam Agama Islam adalah  memberikan tuntunan kepada guru untuk mendidik siswa dengan kasih sayang, mengurangi hukuman dan emosi amarah, dan memberikan hadiah untuk meningkatkan motivasi siswa. Guru hendaknya bersikap sabar, penuh kasih sayang, dan menghadirkan kegembiraan dalam proses pembelajaran. Sedangkan keseimbangan memberikan konsep.
Berkaitan dengan rancangan pemerintah tentang fullday school, melalui perspektif Islam penulis memaandangn bahwa fullday school bukanlah suatu program yang dapat mengekang anak-anak, mengurangi waktu bermain anak, namun lebih pada pengkondisian anak ditempat yang terjaga. Artinya apabila disekolah maka banyak aktifitas anak yang terkendali ketika orang tuanya tidak berada dirumah. Seperti dapat meminimalisasi anak dalam hal penggunaan teknologi yang tidak perlu untuk hal-hal kesenangan sementara. Selain itu juga merupakan bentuk pengkondisian anak dari hal-hal buruk yang ada di lingkungan.
Full Day School bertujuan untuk membantu orangtua dalam menjaga dan memperhatikan anak ketika mereka sedang sibuk bekerja di luar rumah. Selain itu Full Day School yang berlaku selama 5 hari akan memberikan waktu libur akhir pekan lebih lama, yaitu selama 2 hari pada hari Sabtu dan Minggu kepada anak sehingga dapat dimanfaatkan untuk berkumpul bersama keluarga, mengaji, dan aktivitas nonakademik lainnya. Siswa tetap dapat mengaji pada akhir pekan atau pada malam hari baik di pengajian maupun meminta guru ngaji untuk datang ke rumah.




























BAB IV
SIMPULAN DAN REKOMENDASI

A.       Simpulan
Berdasarkan pembahasan dalam makalah ini, dapat kita simpulkan bahwa:
1.      Perspektif adalah cara pandang seseorang terhadap sesuatu. Perspektif religi tentang hakikat manusia dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang, baik dari sudut pandang dimensi manusia, potensi manusia, dan pengembangan potesi menusia yang implikasinya diterapkan dalam pendidikan.
2.      Dimensi manusia dalam perspektif religi (Islam) digolongkan pada sudut pandang manusia sebagai hamba Allah, Nas, Khalifah, Bani Adam, Insan, Makhluk Biologis dan Al-Basyar.
3.      Potensi yang dimiliki manusia dalam perspektif religi (Islam) digolongkan pada potensi Ruh dan Nafs, Akhliyah, dan Jasmaniayah.
4.      Pengembangan potensi manusia yang implikasinya diterapkan dalam pendidikan dalam perspektif religi digolongkan pada pendekatan filosofi, kronologis, fungsional, dan social.
5.      Tujuan utama pendidikan dalam Islam adalah mencari ridha Allah swt. Dengan pendidikan, diharapkan akan lahir individu-indidivu yang baik, bermoral, berkualitas, sehingga bermanfaat kepada dirinya, keluarganya, masyarakatnya, negaranya dan ummat manusia secara keseluruhan.
6.      Dalam perspektif Islam, kurikulum hendaknya memiliki prinsip – prinsip : pertautan dengan agama, universal, seimbang antara tujuan dan cakupan materi, keterkaitan dengan bakat, minat, kemampuan dan kebutuhan pelajar, dengan lingkungan sekitar baik fisik maupun sosial, fleksibelitas, memperhatikan perbedaan individu, peserta didik merupakan pribadi yang unik dengan keadaan latar belakang sosial ekonomi dan psikologis yang beraneka macam, serta pertautan antara mata pelajaran dengan aktifitas fisik yang tercakup dalam kurikulum pendidikan Islam.
7.      Tugas pendidik dalam pendidikan  Islam adalah membimbing dan mengenal kebutuhan atau kesanggupan peserta didik, mencipytakan situasi yang kondusif bagi berlangsungnya proses kependidikan, menambah dan mengembangkan pengetahuan yang dimiliki guna ditransformasikan kepada peserta didik, serta senantiasa membuka diri terhadap seluruh kelemahan dan kekurangannya.
B.     Rekomendasi
Rekomendasi yang dapat penulis ajukan adalah sebagai berikut :
1.   Penekanan kembali nilai-nilai religi baik di sekolah Islam yang sudah menerapkannya maupun disekolah umum, dikarenakan nilai – nilai religi mengajarkan tentang kebaikan, tata krama, sopan santun, dan cara berinteraksi. Hal ini diharpkan dapat mendidik manusia yang  mampu membawa peradaban bagi dunia yang tidak hanya pandai akan pengetahuan dan keterampilan tetapi juga memiliki akhlak yang terpuji.
2.   Karena latar belakang penulis adalah muslim maka dalam injauan teori dan pembahasan penulis menggunakan perspektif ajaran Agama Islam. Bagi para pembaca yang memiliki latar belakang identitas dan ilmu agama non-muslim bisa juga menambahkan perspektif dari agama masing-masing.
3.   Untuk lebih memahami perspektif religi tentang pendidikan pembaca dapat menelaah dalil-dalik tentang perspektif Islam tentang pendidikan dalam Al-Quran dan Al-Hadits.



















DAFTAR PUSTAKA

Abidin,  Zaenal Konsep Model Pembelajaran Dalam perspektif al-Qur’an, hlm 158-163. 

Al-Baqas. (2011). Sejarah Peradaban Islam di Eropa (711M-1492M). [ Online]

Alifah, Nurul. dan AZ, Rahmi. (2013). Potensi Dasar Manusia dan Tugas Manusia
dalam Islam, [Online] Tersedia https://authorahmi.wordpress.com/2013/10/21/potensi-dasar-manusia-dan-tugas-manusia-dalam-islam/. Diakses pada tanggal 4 September 2017

Khasinah, Siti. 2013. Hakikat Manusia Menurut Pandangan Islam dan Barat.Jurnal Ilmiah Didaktika. VOL. XIII, NO. 2, 296-317. jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/didaktika/article/download/480/398. Diakses pada tanggal 4 September 2017

Samsul Nizar, 2002, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan historis teoritis dan praktis, Jakarta: Ciputat Pres, hal: 44.

 









Komentar

Postingan populer dari blog ini

KONSEP PENDIDIKAN DARI TOKOH-TOKOH PENDIDIKAN

A. PANDANGAN PENDIDIKAN MENURUT TOKOH-TOKOH 1). Ki Hajar Dewantara Prinsip Belajar Penafsiran konsep pedidikan Ki Hajar Dewantara dibidang ide pendidikan merdeka, kodrat alam dan pendidikan anak-anak dipengaruhi oleh Frobel dan Montesori. Prinsip belajar Menurut  Ki Hajar Dewantara atau yang lebih dikenal dengan 3N yaitu Niteni, Nirokake, dan Nambahi. a.        Niteni Niteni merupakan kemampuan untuk mencermati, mengenali, dan menangkap makna (sifat, ciri, prosedur, dan kebenaran) suatu objek. Hal ini dapat diartikan merupakan proses perencanaan dan penemuan makna sifat, ciri, prosedur, dan kebenaran) melalui pengamatan indrawi. b.       Nirokake, dan Nambahi. Nirokake merupakan proses meniru suatu pandangan yang dilihatnya, sedangkan nambahi meruakan proses menambahkan sebuah objek yang telah melewati tahapan niteni dan nirokake. Pembahasan menganai kedua prinsip Nirokake, dan Nambahi selalu beriringan mengingat...

KAJIAN MASA DEPAN (FUTUROLOGY)

PENTINGNYA KAJIAN MASA DEPAN (FUTUROLOGY) DALAM PEDAGOGI Istilah futurologi dikaitkan dengan istilah-istilah riset masa depan ( future research ), studi masa depan ( future studies ), dan riset kebijakan, Futurologi dapat diartikan sebagai kajian atau studi tentang berbagai kecenderungan yang mungkin terjadi di masa depan. Kajian futurologi menjadi sangat penting bagi pedagogi karena melalui kajian ini kita bisa menyiapkan, membangun proses, dan berusaha mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan masa depan yang memiliki tantangan global yang belum dapat diprediksi. Apabila kajian tentang futurology tidak digunakan maka sudah menjadi barang pasti kompetensi anak-anak akan sangat jauh tertinggal dan tidak dapat bersaing dengan masyarakat global. Untuk mengimplementasikan kajian futurology ini dibutuhkanlah sebuah system yang dapat bertanggung jawab atas perkembangan komppetensi anak, melalui pendidikan. Pendidikan diharapkan dapat menyiapkan generasi bangsa yang dapat menghadapi dunia g...